Bab 56

5K 542 113
                                    

Egalita

"Bel, Abel! Itu siapa, kenalin dong?" bisik seorang pemuda bertubuh tegap yang kuamati di pertandingan latihan tadi menempati posisi gelandang di klub sepak bola adik lelakiku. Sebelum musim kompetisi ini aku belum pernah melihat pemain ini, sepertinya bakat baru yang ditambahkan untuk memperkuat tim mereka. "Kakakmu ya? Nggak bilang-bilang lu, punya kakak cantik... Kenalin napa?"

Selama ini, ketika aku mengantar jemput Abel latihan, sedikit demi sedikit aku mengenali teman-teman setimnya. Mereka semua rata-rata anak-anak SMP dan SMA tanggung yang tingkahnya persis seperti adikku itu, doyan makan, sedikit bicara dan kalaupun mengoceh, obrolannya tidak jauh-jauh dari video game. Ini pertama kalinya salah satu dari mereka terang-terangan berani menggodaku. Sejujurnya perhatian itu membuatku geli, sekaligus penasaran bagaimana Abel akan menanggapinya.

"Udah punya pacar," sahut Abel ketus lalu ngeloyor begitu saja.

Alisku terangkat mendengarnya, senyum simpul kutujukan pada lawan bicara Abel yang kini melihat ke arahku dengan tatapan menyayangkan. Kukeluarkan handuk lalu botol air mineral, yang ketika Abel mendekat lantas kuulurkan padanya. "Siapa tuh?" gumamku dengan nada genit main-main. "Pemain baru ya?" bisikku setelah beberapa lama Abel hanya diam, menenggak air minum di botolnya.

Adik tiriku tidak menjawab, suasana hatinya tiba-tiba terlihat murung. Tanpa berkata-kata, ia mengguyurkan sisa isi botol air minum itu ke wajahnya. Airnya mengalir turun, membuat kaus putih yang dipakainya basah kuyup, mencetak otot yang terbentuk hasil latihan kerasnya selama setahun terakhir. Cuaca memang cukup panas hari ini, aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya bagi Abel yang harus berlari di bawah terik selama lebih dari satu jam.

"Lepas aja kaosnya," ujarku tanpa pikir panjang, khawatir kalau adikku masuk angin karena terlalu lama memakai pakaian basah. Yang kudapat justru lirikan tajam matanya, juga bibirnya yang terlihat cemberut. Aneh. Padahal aku hanya memedulikan kesehatannya saja, mengapa justru aku yang menjadi sasaran kekesalannya? Mungkin benar kata Theo, Abel sedang mengalami masa puber dan siapa yang tahu, apa yang ada di kepala bocah remaja tanggung seperti dirinya kini.

Masih saja diam, Abel menarik lepas kaosnya yang lengket basah oleh air dan keringat. Ini bukan pertama kalinya aku melihat Abel telanjang dada, tapi berada sedekat ini dengannya, membuat pikiranku justru terbang kepada saudara tiriku yang satunya lagi. Tanpa sadar pipiku menghangat karena otak kotorku justru teringat pada Theo di saat-saat seperti ini. Kujejalkan handuk begitu saja ke tangan Abel, lalu menyibukkan diri dengan ponsel di tangan. Sialan, gerah banget cuacanya!

"Thanks," ujar Abel sembari mengeringkan tubuhnya.

"Sejak kapan aku punya cowok?" tanyaku sambil lalu.

"Jangan pernah pacaran sama pemain sepak bola," kata Abel tidak menjawab secara langsung pertanyaanku.

Tertawa tertahan, aku mendongak ke arahnya heran. "Loh, kenapa?"

"Playboy." Abel mengulurkan handuknya padaku lalu ganti mengambil selembar kaos yang kuberikan padanya dan memakainya cepat. "Sudah punya pacar, masih lirak-lirik kiri kanan."

"Oooh," gumamku pendek. "Kalau gitu, kenapa kamu masih jomblo ampe sekarang? Boro-boro playboy, kerjaannya main game mulu—"

"Aku beda," potong Abel. Sejenak, perhatiannya teralihkan oleh rombongan teman-temannya dan keluarga mereka yang melambaikan tangan, meneriakkan rencana mereka. Sepertinya waktu kulineran akan segera dimulai. "Kamu mau makan pempek habis ini?" tanya Abel.

Perut sebelah kanan bawahku sejak kemarin sore terasa aneh. Kadang sakit tapi lalu sakitnya memudar dan beberapa jam sesudahnya muncul kembali. Timbul tenggelam. Rasanya sedikit tajam, berbeda dari rasa sakit menjelang atau di hari-hari pertama menstruasi. Makanan kecut dan pedas adalah hal terakhir yang kuinginkan. Perutku sedikit mual membayangkannya. Tanpa perlu susah payah mungkin aku bakal muntah dengan sendirinya. Hanya saja, kini kami ada di Palembang, pertama kalinya aku dan Abel pergi berdua ke luar pulau. Abel mungkin ingin menghabiskan waktu bersama-sama teman-temannya juga. Aku tidak ingin membuatnya khawatir karena alasan yang masih belum jelas. Kalau ia ingin keluar makan pempek, maka sebagai kakak aku akan menuruti segala kemauannya.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now