Bab 20

12.8K 1.1K 114
                                    

Egalita

Kepalaku bersandar ke lengan sofa, sementara kedua kakiku terulur memanjang berbalut selimut, dipangku oleh Theo. Kakakku memijat ujung jari kakiku dari luar selimut pelan. Rasanya nyaman dan hangat, suara televisi terdengar samar menyiarkan perayaan tahun baru di Jakarta dan Bali. Theo yang memegang remote, mengganti-ganti salurannya hingga salah satu televisi swasta menyiarkan film aksi laga barat. Tipikal Theo, ia berhenti di saluran itu dan berhenti memainkan remotenya lagi.

"Kak, kamu nggak ikut party-nya nanti?" tanyaku tiba-tiba, meskipun kini aku telah mengetahui jawabnya, bahwa Theo tidak akan meninggalkan sisiku kecuali kalau ada orang-orang di rumah yang menemaniku.

"Nungguin kamu tidur, nanti aku langsung ngabur," jawabnya dengan wajah serius datar yang membuatku kesulitan untuk mengartikan apakah dia sedang bercanda atau sungguh-sungguh.

"Theo, beneran aku udah nggak apa-apa. Kamu pergi aja. Ega udah baikan, kalau Theo nyusul sekarang pasti masih bisa ngejar mereka. Party-nya masih nanti abis kembang api kan?"

"Ga," Theo menatapku sungguh-sungguh, matanya terbuka bulat dan terlihat sedikit terlalu serius, membuatku curiga. Ia mengecilkan volume suara film di televisi menambah dramatisasi ucapan kakak tiriku itu berikutnya, "Kamu tahu kan kalau villa ini ada yang nunggu?"

Paham ke mana arah pembicaraannya, aku buru-buru bangkit dan memukul kepala Theo dengan bantal sofa lalu meringkuk di dekatnya. "Iih! Ega kan takut."

Hadapkan saja aku pada laki-laki mesum atau penjambret, aku bisa menghadapi mereka dengan darah feminis Egalita Manar yang menggelegak. Namun kalau ada satu kelemahanku, tentunya cerita-cerita horor yang membuat fantasiku bekerja ekstra aktif membayangkan makhluk-makhluk menyeramkan tak kasat mata. Sialan Theo.

"Katanya yang bisa ngeliat, di deket kolam renang itu—"

"Udah-udah, Ega nggak mau denger lagi," sahutku cepat sambil membekap mulut Theo untuk kedua kalinya malam itu. Kali ini, aku memeluk erat lengannya dan tidak berkeinginan buat melepaskannya lagi. Puas melihat reaksiku, Theo memusatkan perhatiannya ke arah televisi lagi.

"Theo udah ngabarin yang lain?" tanyaku.

"Udah," jawab Theo pendek.

"Kamu bilang apa?"

"Mm... bilang kalau kamu lagi nggak enak badan, aku nganterin kamu balik ke villa."

"Dina sama Abel nanti ke pestanya sendiri... Kamu nggak papa?"

Aku tahu kalau meskipun selama ini Theo berusaha memberikan banyak kebebasan pada kedua adiknya, masih ada batasan-batasan yang ia terapkan, seperti dilarang merokok walau apapun yang terjadi (meskipun Theo sendiri kadang merokok), dilarang minum minuman keras ataupun menggunakan narkoba. Berusaha menjadi sosok kakak yang seperti teman, ia bahkan memberikan pilihan pada kami, kalau misalnya rasa ingin tahu kami cukup besar untuk mencoba satu dari larangan itu, maka kami bisa melakukannya asalkan di depan Theo dan di lingkup rumah kami yang aman, dalam suasana yang terkontrol. Ia tidak memberikan larangan terlalu keras yang akibatnya justru membuat kami ingin melakukannya secara sembunyi-sembunyi dari Theo. Pendekatannya itu cukup sukses buat menjauhkan Abel dan Dina dari godaan-godaan yang biasanya lekat dengan anak-anak produk keluarga broken home.

Tanpa diminta, aku pun merasakan keinginan kuat untuk meringankan tanggung jawab Theo. Karena itu aku memfamiliarkan diri dengan semua jadwal pertandingan Abel, menggunakan Valdy sebagai tambahan pasang mata untuk agar aku bisa mengetahui apa kesibukan Abel dan siapa saja teman-teman dan lingkup pergaulannya. Selain soal ketahuan beberapa kali merokok, Abel adalah anak baik-baik yang pergaulan dan kegiatannya di luar cukup bersih. Menangkap basah puntung rokok dalam saku bajunya, aku hanya menunjukkan pada Abel kalau aku tahu tanpa melaporkan soal ini pada Theo agar Abel lebih mempercayaiku. Dugaanku benar, itu hanya fase baru khas anak remaja dan Abel tidak lagi meneruskannya setelah melihat pengaruh merokok pada paru-paru di dalam video dokumenter yang "tidak sengaja" aku perlihatkan padanya, juga bagaimana dampak negatifnya pada atlet. Tidak bisa bermain sepak bola lagi secara kompetitif, barangkali merupakan konsekuensi yang tidak ingin ditemuinya.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Kde žijí příběhy. Začni objevovat