Bab 34

17.6K 1K 104
                                    

Egalita

Sepanjang pagi dan siang, tidak sedikitpun aku berani menatap langsung ke arah Theo, menghindarinya seperti kuman dan justru menempel seperti lem pada adik perempuanku. Dina kaget mendapati Theo tiba-tiba pulang, tapi ia merasa lega karena katanya, 'Egalita jadi ada temannya... nggak sendirian di rumah.'

Oh Dina, kalau saja adikku itu tahu, tidak ada yang lebih menakutkan daripada berduaan saja di rumah bersama kakak tiriku. Perlahan aku berusaha memutar otak, bagaimana caranya menghindari singgungan dengan Theo, apalagi ketika tidak ada lagi Dina di rumah nanti. Abel masih bertanding di liga dan baru akan pulang seminggu lagi. Hanya akan ada Mbok Mini dan Pak Saleh di rumah kami, aku tidak bisa terus-terusan menempel pada keduanya karena bakal terlihat aneh.

Tanpa bisa dicegah, kejadian semalam terus dimainkan berulang seperti kaset rusak di dalam pikiranku. Pipiku memanas kalau ingat bagaimana tubuhku bereaksi ketika disentuh oleh kakakku sendiri. Theodore memang bukan kakak kandungku, tapi bagiku dia adalah sosok wali yang berada di derajat yang sama dengan ayah kandungku sendiri, dan bahkan seringkali lebih bertanggung-jawab soal kemaslahatan urusan sehari-hariku ketimbang Robby Manar. Ciuman kami selama ini dan belaian tidak pantas itu cukup memengaruhiku. Aku akui, terkadang ketertarikan akan pesona dan daya tarik Theodore Rahardian, juga perbuatan dewasa nakal yang diam-diam kami lakukan seringkali membuatku tak berdaya. Namun kata hatiku yang satunya lagi terdengar seperti nurani yang berontak karena tahu bahwa apa yang dilakukannya padaku, jauh dari perlakuan normal seorang pelindung pada yang dilindunginya.Tidak jarang aku merasakan seolah ada sesuatu bergerak merayap di bawah kulit dagingku, membuatku bergidik mual, seperti yang kurasakan pagi ini ketika mendapati sisa keluaran Theo di kemaluanku, menggosoknya bersih ketika mandi dan teringat bahwa organ intimku itu, yang seharusnya terlindung dan aman, telah dijamah oleh seseorang.

Kejadian semalam tidak boleh terjadi lagi, aku tidak bisa membiarkannya sampai terulang. Berulangkali Theo mendobrak pembatas di antara kami berdua, namun aku tidak mengira kalau ia sampai hati melakukan sejauh ini. Kukira ini hanyalah sebuah fase... dan naifnya kupikir tiga minggu berpisah akan sanggup membuatnya sadar. Sejujurnya aku merasa kalau aku pun patut dipersalahkan... tekadku yang selalu terasa bulat ketika merencanakan sesuatu itu seolah menguap begitu saja ketika berdekatan dan berduaan dengan Theodore. Kadang sulit untuk membedakan apakah aku menuruti kemauannya karena memang tertarik atau takut.

Malam itu kami menggelar salah satu board game favoritku, Murder Mystery, dan memulai permainannya bertiga. Makan malam berlangsung tenang tanpa insiden, seperti biasa aku mengekor Dina ke manapun, pura-pura tidak memahami setiap upaya Theo untuk mengajakku ngobrol berdua saja. Kalau Dina masuk ke kamar, aku juga ikut, kalau ia ke ruang makan aku juga sama, kalau ia ke toilet aku mencoba mengulur waktu dengan mendekati Mbok Mini di dapur, mengajaknya ngobrol. Jika Dina merasa aneh karena kelakuanku, ia tidak menanyakannya. Mungkin ia mengira kalau aku terlalu kangen padanya, adikku senang-senang saja ditempeli olehku. Yang penting sama sekali tidak ada kesempatan untuk Theo berdua-duaan saja denganku.

Suara televisi menjadi latar belakang permainan kami, selagi aku membaca salah satu kartu petunjuk yang bisa memberitahukanku siapa penjahat yang sebenarnya. Theo berbaring dengan kepala yang bersandar malas ke telapak tangannya, sementara Dina sesekali mengecek ponselnya, duduk membaca isi kartunya sendiri, menunggu aba-abaku. Kalau saja aku tidak mencubit kulitku ketika menggosok bersih pangkal pahaku pagi ini, mungkin aku bakal mengira kalau kejadian kemarin cuma mimpi.

Frustrasi menggelayuti pikiranku mendapati suasana tenang dan normal ini. Kalau saja Theodore tidak melakukan apa yang ia lakukan padaku selama ini, kami bisa bersikap seperti biasa. Aku rindu pada kakakku yang dulu menjadi tempatku mengadu tentang segala hal.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now