Bab 72

3.4K 519 91
                                    

Thanks udah penuhi targetnya. Kalian terdebest guys... Kita juga #1 di Stalker dan #4 di Cemburu. Well done!!

Selain vote, tingkatkan komen kalian juga yah...

Bab 73 up kalau Bab 52 votenya 350 :-)

Season 1 udah hampir tamat yuhuuuuu <3


+++++


Egalita

"Kamu yakin nggak mau coba ambil tes di maskapai itu?" tanya instruktur pembimbingku di kampus.

Mendengar pertanyaannya, lagi-lagi aku menunduk, membaca selebaran pendaftaran calon pramugari di sebuah maskapai internasional ternama yang memiliki basis di kota tempat bangunan tertinggi di dunia, Burj Khalifa, berada.

Dubai... Membayangkan panas kotanya saja membuatku kegerahan. Aku memang bercita-cita suatu saat ingin menunaikan ziarah dan kunjungan ke tempat-tempat suci dan bersejarah di Saudi Arabia. Tapi aku tidak terlalu berminat tinggal secara permanen di sana. Lagipula ketika aku memutuskan untuk diam-diam kuliah pramugari, sama sekali tidak terbayangkan olehku untuk melamar pekerjaan di maskapai luar negeri, apalagi bermukim di tempat itu.

Selain itu, aku tak ingin berada terlalu jauh dari kedua adik dan keluargaku. Bepergian keluar kota selama beberapa waktu adalah satu hal, tapi bermukim di luar negeri secara permanen ada di spektrum yang sama sekali berbeda. Memikirkannya saja membuat perutku terasa mulas.

"Nggak," jawabku sambil mengembalikan brosur yang kuambil ke wadahnya. "Ega nanti daftar yang lokal aja kak, coba-coba," jawabku.

"Kalau kamu berubah pikiran, kasih tahu aja aku ya, nanti aku bantu hubungkan kamu sama koneksiku di sana. Susah masuk kalau nggak pakai koneksi. Tapi nilai-nilai dan performamu bagus semua. Aku sih nggak terlalu khawatir soal itu."

"Makasih kak."

"Ya, sama-sama. Aku rada gemes aja kalau bakat seperti yang kamu punyai nggak disalurkan dengan baik."

Aku termangu sampai beberapa orang siswa masuk menyela ke dalam ruangan sempit itu, menyadarkanku untuk buru-buru beranjak keluar setelah sekali lagi berpamitan dan mengucapkan terima kasih.

Bakat yang tidak disalurkan dengan baik, katanya...

Aku benci ungkapan-ungkapan pengandaian seperti itu. Tidak ada gunanya dan hanya buang-buang waktu saja.

Hari masih sore ketika aku keluar bangunan institut, dan seperti biasa berjalan melipir melewati trotoar yang ditanami oleh pohon-pohon perindang menuju ke kampus seberang tempat Abel menjemputku. Hari ini ia sedikit lebih awal dari biasanya.

"Bel," sapaku ketika sampai di dekatnya.

"Woi." Abel menoleh. "Dari mana, kok dari sana?" tanyanya sambil lalu.

"Habis fotokopi," jawabku siap sedia dengan salah satu dari puluhan alasan plausibel untuk menjelaskan padanya mengapa aku datang dari arah yang sama sekali berbeda dari kampus yang seharusnya aku datangi.

Tanpa curiga, Abel hanya berseloroh, "Oh..." sambil memberikan helmnya padaku. "Udah siap?" tanyanya lagi ketika aku naik di jok belakang motornya.

"Udah."

"Sip."

***

Hujan malam itu seolah ditumpahkan dari langit. Di mobil Valdy, kami hampir-hampir tidak bisa melihat pemandangan lebih dari lima meter ke depan. Ia menyetir pelan-pelan membawaku pulang setelah terjebak macet hampir dua jam. Kami masuk ke rumah yang lampunya sudah dimatikan. Sebenarnya aku ingin Valdy menurunkanku di jalan karena takut membangunkan seisi rumah, tapi ia takut aku kehujanan sehingga memaksa membawa mobilnya masuk ke dalam halaman rumah, berlindung di bawah kanopi.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now