43. Lost [2]

24 4 0
                                    

TRIGGER WARNING : Akan ada beberapa paragraf dalam narasi dan dialog yang MENYEBUTKAN tentang kematian, aborsi, perilaku saat mabuk, dan percobaan berkelahi. Mohon bijak dalam membaca dan silahkan segera meninggalkan halaman ini jika merasa tidak berkenan.

•˚•˚•˚•

Meski tidak sepenuhnya yakin, tapi Genta merasa kalau sesuatu yang buruk telah terjadi. Ini soal Mita yang tak merespons segala pesan singkat dan teleponnya sejak semalam.

"Den? Enggak jalan?" Genta sedikit bergerak untuk menoleh ke arah pak satpam yang baru saja mengajukan pertanyaan. Jelas saja si bapak bertanya, itu karena Genta hanya berdiam diri menahan laju CBR-nya, padahal pintu gerbang sudah terbuka lebar.

"Iya, pak. Ini Ami jalan. Makasih ya, pak."

Selesai bicara dan mengulas senyum kepada pak satpam dari balik helm fullface-nya, Genta menarik tuas gas. Pikirannya terbelah jadi dua. Satunya fokus ke jalanan aspal, satunya kepada Mita. Genta beruntung dia sampai di sekolah dengan selamat meski saat mengendara tadi benaknya banyak berkutat.

Keluar dari lahan parkir, Genta melangkah agak cepat. Ia ingin segera sampai di kelas dan menemui Mita untuk minta penjelasan soal pesan dan teleponnya yang diabaikan.

"Om?"

"Eh, kamu. Maaf, siapa namanya?"

"Genta, Om." Sambil menyebut namanya, Genta mengulurkan tangan untuk mencium tangan lelaki yang dia panggil Om barusan. Itu adalah papinya Mita. Mereka sekarang sedang berhadapan tak jauh dari pintu lobi.

"Oh, iya. Genta. Maaf, om enggak ingat." Papinya Mita tersenyum kikuk. Lelaki itu ingat anak lelaki ini pernah mampir di rumahnya setelah mengantar pulang dan menggendong Mita sampai ke kamar, tapi tak ingat soal namanya.

"Gapapa, Om. Maaf, kalo boleh tanya, Om ada keperluan apa sampe dateng ke sekolah?"

"Oh, itu. Om antar surat dokter ke wali kelas."

"Mita sakit, Om?"

Melihat perubahan ekspresi Genta yang sangat seketika, papinya Mita mengulas senyum tipis. Ia bergerak mendekat ke arah Genta dan mengelus lengan atas Genta pelan sambil meyakinkan kalau Mita akan baik-baik saja di bawah peratawatan dan pengawasannya. "Gak usah terlalu khawatir, ya?"

←→

Benar saja dugaan Genta. Sesuatu—yang sepertinya hal buruk—sudah terjadi kepada Mita. Meski ayah dari anak perempuan itu sudah berpesan kepadanya untuk tidak khawatir, tapi tetap saja dia selalu gelisah dan seringkali tak fokus melakukan sesuatu lantaran terlalu banyak memikirkan Mita.

Juga, meski semua orang yang dekat dengan Mita memberitahunya kalau Mita hanya tak enak badan—sampai tak masuk sekolah dua hari, itu tetap membuat Genta tak tenang dan dia jadi banyak berasumsi liar.

Semua asumsi liarnya tumbuh subur karena terpupuk rasa curiga. Itu karena Genta merasa ada—banyak hal—yang janggal. Mulai dari Satria yang kelihatan panik dan agak kikuk waktu ia tanya Mita sakit apa, sampai Mita yang nomor teleponnya benar-benar tidak aktif sampai hari ini.

Bicara soal hari, ini sudah hari minggu. Yang berarti sudah empat hari Mita tak dapat dijangkau oleh telepon dan pesan singkat. Genta rasanya bakal gila. Dia merasa akan berubah jadi gila kalau dia diam saja dan membiarkan isi kepalanya menyimpulkan banyak sekali hal buruk.

Tidak tahan, Genta akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mita. Anak lelaki itu langsung turun dari motornya begitu ia sampai di depan gerbang kediaman Mita. Hanya modal nekat dan tak punya rencana—selain memastikan soal keadaan Mita, Genta mengangkat tangannya ke udara untuk memencet bel.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang