25. 기억 [삼]

146 22 47
                                    

Recommended sound soul :

★★★

Dari kursi penonton, Genta dapat sangat jelas menangkap kekhawatiran yang ada di raut wajah Lia. Entah apa yang membuat pacar kesayangannya itu jadi kelihatan gugup dengan pandangan matanya yang seperti hilang fokus. Padahal, seingat Genta Lia sudah berusaha keras mempersiapkan diri untuk kompetisi—debat bahasa Jerman—ini setidaknya satu bulan belakangan.

Genta jadi ikut merasa panik dan gugup sendiri melihat kondisi Lia di depan sana. Lawan debatnya dari yayasan sekolah lain kelihatan sangat bersemangat dan tak segan-segan menekan Lia dengan segala sanggahan pendapatnya. Ditambah lagi suara gema dari mikrofon yang kedengaran begitu mengintimidasi. Genta jadi kesal sendiri karena nyatanya ia tak mengerti sama sekali tentang apa yang anak lelaki—lawan debat Lia—itu bicarakan. Jelas, mereka menggunakan full bahasa Jerman.

Kompetisi hari itu berakhir dengan cepat. Genta sekarang sedang sibuk mengelus lengan atas Lia yang sedang menangis. Iya, anak perempuan itu gugur. Ia gagal membawa nama baik sekolahnya untuk naik ke tingkat provinsi.

"Nggak apa-apa, Li. Kamu tadi keren, kok," ujar Genta berusaha menghibur

Lia tak lantas menanggapi. Ia masih sibuk menyerot ingus di depan lorong toilet universitas tempat kompetisi ini diadakan.

"Keren gimana? hiks. Kalo keren harusnya aku menang, hiks."

Sebenarnya Genta ingin sekali merengkuh gadis kecil ini untuk masuk ke dalam dekapannya. Hanya saja kondisi mereka yang ada di tempat begini sangat tidak memungkinkan bagi Genta untuk melakukan hal itu. Sebagai ganti, sekarang tangannya beralih ke pucuk kepala Lia dan mengelusnya lembut.

"Udah ah, jangan nangis gitu. Pulang aja yuk mending."

"Jangan nangis gimana sih? hiks. Aku ga mau pisah sama kamu."

Selepas meluncurnya kalimat serta isakan itu dari mulut Lia, Genta membatu. Hal ini memang sudah pernah mereka bahas beberapa hari lalu. Soal Lia yang bakal ditransfer ke Jerman oleh Papanya semisal ia tidak lolos maju ke tingkat provinsi dan tidak memegang medali emas untuk juara nasional dari kompetisi ini.

Mungkin kedengaran sangat sepele, tapi ini merupakan hal yang sangat besar bagi keduanya.

Lia tahu Papanya tidak main-main soal perkataannya yang bakal langsung mengirim dirinya ke Jerman semisal ia gugur. Anak perempuan itu adalah putri semata wayang Papanya yang merupakan generasi penerus ke sekian dari sebuah perusahaan manufaktur di Jerman. Bisakah kalian membayangkan seberapa banyak dan berat beban yang tersampir di bahunya?

"Nggak, kok. Tenang aja, Lia. Kita ga bakal pisah."

←→

Genta harusnya berjalan kembali ke kelas sehabis mengambil kertas absen di ruang Tata Usaha kalau saja ia tak mendengar obrolan singkat dari ruang wakil kepala sekolah. Salahkan pintu ruangan itu yang tak tertutup rapat dan orang di dalam sana yang bicara terlampau keras dari balik daun pintu.

"Nggak masalah kan, Pak?"

Sepasang kelopak mata anak lelaki itu menyipit. Ia menempelkan punggungnya ke dinding luar ruangan, kemudian menajamkan indera pendengarannya. Ada yang aneh dengan obrolan yang samar-samar ia dengar ini.

EvanescentWhere stories live. Discover now