39. Let Me Know

58 11 0
                                    

Aaron awalnya ingin memberi waktu kepada Mita, tapi setelah sepuluh menit hanya duduk berhadapan tanpa adanya rajutan kata yang keluar dari mulut anak perempuan itu, Aaron jadi sedikit tidak sabar. Pandangnya yang sejak tadi tak lepas dari wajah Mita sekarang sudah ia lempar ke sembarang arah. Takut-takut kalau sinar laser mematikan keluar dari matanya dan langsung membunuh Mita kalau ia tetap memandanginya.

"Ita, tolong bilang sesuatu." Aaron sudah tidak peduli kalau kalimatnya barusan terdengar sangat frustrasi dan menyedihkan. Ia hanya sudah tak tahan menangani rasa sakit yang setiap hari menggerogotinya.

Anak lelaki itu masih tidak mau menerima kenyataan kalau hubungannya dan Mita sudah berakhir. Jadi, dia datang berkunjung ke tempat Mita untuk meminta kesempatan ke-dua. Kesempatan yang ia janjikan akan ia gunakan sebaik mungkin untuk memperbaiki perangainya dan akan ia gunakan semaksimal mungkin untuk membangun hubungan kasih yang lebih baik dari yang sudah pernah meraka jalani.

Keheningan masih betah menyelimuti Aaron dan Mita. Dua tubuh mereka masih tergeming membatu. Aaron tak lagi menekan Mita untuk bicara. Anak lelaki itu sudah benar-benar hilang akal. Dia bahkan tak sadar kalau sepasang manik matanya sudah menampung air yang siap menghujani wajahnya kapan saja.

Tak memedulikan air mata yang siap tumpah, Aaron memaku pandang ke wajah Mita. Betapa terkejutnya dia waktu melihat kalau anak perempuan itu juga kelihatan sedang menahan tangis. Dalam situasi yang meremukkan hati seperti itu pun, keduanya tetap mempertahankan ego masing-masing. Tak ada satu pun dari mereka yang sepertinya sudi membuka mulut untuk membunuh sunyi.

Pening, Aaron membanting punggungnya ke sandaran sofa. Ia mendongakkan kepalanya dan memejamkan mata. Berusaha keras menelan kembali air yang membuat pandangannya jadi sedikit kabur. Tak lama setelahnya, Aaron memutuskan untuk kembali bersuara. Dia ingin menyelesaikan semua ini dengan cepat. Dia ingin dengar sesuatu dari Mita. Entah itu sesuatu yang baik atau buruk, Aaron sudah tak peduli lagi.

"Aku enggak akan maksa kamu. Aku memang minta kesempatan, tapi kalau kamu enggak mau kasih, itu enggak apa-apa. Bilang sesuatu, Ita, tolong. Kasih aku kesempatan kalau kamu memang mau coba, atau tolak permintaanku kalau kamu memang enggak mau."

Bukannya menjawab, Mita malah terisak. Sangat pelan, tetapi terdengar begitu memilukan. Aaron merapatkan bibir sebelum kembali berujar. "Kasih tau aku, Ita. Aku tahu kita udah selesai. Tapi, tolong kasih tau aku soal mau hati kamu."

Mita semakin banyak mengeluarkan air mata. Dia membuka mulutnya perlahan, sampai akhirnya berujar—meski sedikit terbata. "A-aku enggak bisa kayak gini. Aku sayang kamu banget, Ata. Ayo balik kayak dulu lagi."

Tangis Mita semakin pecah. Aaron tak bisa diam saja, jadi dia beranjak untuk mendekat dan segera menarik Mita ke dalam dekapanya. Aaron memeluk Mita lumayan erat. Napas anak lelaki itu perlahan memendek. Sesuatu di dadanya terasa begitu mendesak.

Lega bukanlah satu hal yang dapat mendefinisikan perasaan hati Aaron sekarang. Meski Mita sudah memberi jawaban yang ia inginkan, Aaron masih merasa ada beberapa beban yang belum terangkat dari bahunya. Entah apa.

Anak lelaki itu memejamkan mata dan membiarkan beberapa bulir air matanya jatuh. Dan ketika dia membuka sepasang kelopaknya, yang dia lihat dan dia rasakan adalah kegelapan serta keheningan total.

Semua hal yang barusan ia alami hanyalah mimpi.

Aaron membuka matanya sedikit lebih lebar. Tidak menyangka kalau setetes air tahu-tahu meretas dari sana. Ia bangun dari posisi baring untuk menegapkan punggung. Napasnya memburu. Diliriknya jam digital yang ada di meja nakas ; pukul 04:27 pagi.

Menggelengkan kepala dengan lemah adalah satu-satunya hal yang Aaron lakukan. Dia mengusap wajahnya kasar, kemudian beranjak dari kasur. Ini masih terlalu awal untuk memulai hari, mengingat hari itu adalah hari minggu. Tapi, siapa yang peduli?

EvanescentWhere stories live. Discover now