40. Is It Love/?

85 11 12
                                    

Ujian kenaikan kelas berjalan dengan lancar. Sekarang adalah hari minggu pertama sejak periode libur semester. Sesaat sebelum ujian dimulai, Genta membuat sebuah janji kepada Mita. Dia berjanji akan mengajak Mita jalan seharian dan mentraktirnya kalau anak perempuan itu naik peringkat.

Semester lalu, Mita dapat peringkat ke-8 dari 32 siswa. Sesuatu yang tidak buruk-buruk amat—menurut Mita—mengingat memang dia tidak terlalu ambisius soal nilai. Dia juga tidak tahu peringkat 8 itu dia dapat dengan cara apa. Karena seingatnya dia hanya memerhatikan pelajaran dengan serius saat kelas Bahasa Inggris saja.

Jujur saja semester ini Mita tak banyak berharap. Dia hanya berusaha semampunya untuk mengulang pelajaran di malam hari sebelum ujian. Tapi, secara mengejutkan dia dapat peringkat ke-5 di semester ini. Itu sesuatu yang sangat patut disyukuri—meski pencapaiannya tidak setinggi Genta yang tahu-tahu dapat peringkat ke-2.

Jadi hari minggu ini adalah hari di mana Genta akan menepati janjinya. Dia bangun lumayan pagi untuk siap-siap. Dia langsung membuka lemari sesaat setelah bangun tidur untuk meneliti kira-kira apa yang pantas untuk dia kenakan hari ini. Setelah beberapa lama berpikir, Genta akhirnya memilih untuk memakai jeans hitam dan kaos putih. Dengan kemeja flanel oversized warna biru sebagai luaran.

Sekarang, Genta sedang menekan bel rumah Mita. Senyum lebar yang membingkai wajahnya berubah jadi sedikit kaku waktu ia mendapati Dika yang membukakannya pintu, bukan Mita.

"Eh, abang. Mitanya ada?"

Dika mengulas senyum tipis sebelum menjawab. "Ada. Masuk aja dulu."

Menyadari Genta yang bawa motor, Dika kembali berujar sebelum Genta benar-benar masuk. "Motornya mau dikunci setang aja apa mau gue bukain gerbang biar bisa masuk?"

"Oh, di sini aja nggak apa-apa, bang. Udah dikunci setang kok."

Dika dan Genta baru saja hendak masuk ke rumah kalau saja Mita tidak tiba-tiba muncul. Anak perempuan itu terlihat super manis hari ini. Dia melempar senyum kepada Genta, tapi begitu melihat Dika, wajahnya berubah jadi sangat cuek.

"Mau jalan ke mana kalian?" mendengar Dika bertanya begitu, Mita tak menjawab. Ia berjalan untuk bisa sampai di samping Genta dan menarik tangan anak itu—untuk buru-buru pergi—sambil berujar,"bukan urusan lo."

Genta melepas tangan Mita yang sudah mencengkeram lengannya. Dia menatap Mita sebentar, lalu beralih menatap Dika untuk minta izin. "Mau pergi nonton, bang. Pinjem adik cantiknya sebentar, ya?"

Mendengar Genta bicara begitu sebenarnya membuat Mita sangat jengkel. Tapi, ia tak mungkin memprotesnya karena Genta hanya bersikap baik untuk meminta izin.

Dika terkekeh sebentar. "Iya. Jagain, jangan dibikin nangis."

"Siap!" sambil bicara begitu, Genta membuat gestur hormat. Dika hanya memamerkan cengirannya untuk merespons sementara Genta langsung diseret ke luar oleh Mita padahal dia belum berterimakasih kepada Dika karena sudah diizinkan untuk mengajak Mita pergi ke luar.

"Agi," panggil Mita waktu Genta menyerahkan helm. Anak lelaki itu tak merespons banyak. Dia hanya mengangkat sepasang alisnya lumayan tinggi. "Kamu kenapa?"

Mita bertanya demikian karena ia sadar kalau air muka Genta tiba-tiba berubah jadi sedikit murung. Itu karena Genta tiba-tiba rindu Tia, meski tidak sepenuhnya. Sebagian hal yang membuatnya jadi begitu adalah perihal sikap Mita yang masih saja keras kepada Dika. Padahal, menurut Genta, Dika pantas mendapatkan maaf dan kesempatan untuk memperbaiki diri—yang sepertinya sudah dia lakukan.

"Kenapa apanya? Aku gak apa-apa, tuh?"

"Beneran?"

"Beneran, sayang. Duh, bawel banget." Genta bicara begitu sambil mengaitkan tali helm Mita untuk kemudian memakai helmnya sendiri. Dia sudah menstarter mesin motor, tapi Mita belum naik ke jok belakang.

EvanescentOù les histoires vivent. Découvrez maintenant