32. (Lagi-lagi) Menyimpan Rasa

142 20 43
                                    

“Y-ya emang gue bisa apa?”

Kalimat itu lolos dari mulut Mita diiringi dengan kerutan di dahi. Ia menarik tangannya yang sebelum ini menempel di dada Genta.

“Pake nanya,” cibir Genta yang sekarang sudah membaringkan tubuh di ranjang.

“Gue tinggal ya?” kata Mita
Anak perempuan itu berpamit sebelum meninggalkan UKS untuk kembali ke kelas.

“Iya. Udah biasa juga kok gue ditinggalin,” sahut Genta sarkas

“Agiiiiiiiii!” jerit Mita, tak jadi pergi.

“Apa sih?”

“Jangan ngomong gitu.”

Bibir Mita melengkung ke bawah. Anak itu kembali mendekati Genta dan sekarang sudah berdiri di sisi kanan ranjang.

“Ya makanya, Yoan.”

“Makanya apa?”

Makanya udah putus aja sama Aaron, bego ah.

“Gapapa. Udah sana balik kelas gih.”

Mita lagi-lagi merengut. Genta yang tidak mengerti dengan sikap anak perempuan itu, kemudian bertanya,“Apa lagi? Kenapa lagi itu bibir maju-maju?”

Mita menggeleng kecil. Di dalam benak perempuan itu sebenarnya sedang disesaki banyak sekali hal. Sebagian tentang perasaan asing yang seperti rasa khawatir waktu melihat Genta luka lumayan banyak. Sebagian lagi tentang rasa ingin tahu yang menggebu-gebu soal alasan kenapa Genta dan Aaron bisa sampai adu jotos begini.

Seingatnya, Aaron bukan tipe orang yang mau repot-repot babak belur hanya karena sebuah masalah. Meski anak lelaki itu tempramennya susah sekali dikendalikan, tapi dia bukan seseorang yang dengan mudahnya melayangkan tinju ke wajah orang lain hanya karena dia emosi. Aaron selalu mengedepankan logikanya. Jika masalah itu masih bisa diatasi dengan diskusi dan adu argumen, ia tidak akan berkelahi. Jadi Mita benar-benar penasaran apa yang terjadi pada Aaron dan Genta sampai-sampai mereka berakhir babak belur begini.

“Malah bengong,” kata Genta. Membuyarkan pikiran Mita.

“Nanti mati lo,” imbuhnya

“Daripada mati, mending jadi pacar gue, Yoan.”

→←

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar sepuluh menit lalu. Aaron sekarang sudah berdiri di depan lab Pemasaran yang berada persis di sebelah kelas Mita. Beberapa teman sekelas Mita sudah melewati Aaron yang masih mematung, tapi anak itu tak kunjung ke luar kelas.

“Masuk aja, Nas. Ngapain diem di situ?”

Barusan adalah suara Satria. Anak lelaki gembul itu kemudian menghampiri Aaron diikuti Qilah di balik tasnya.

“Eh, gapapa. Nunggu Mita ke luar aja,” jawab Aaron sekenanya

“Nanti keduluan Genta, loh.”

Yang ini suara Qilah. Habis berkata demikian, perempuan itu menarik Satria untuk meneruskan jalan pulang.

Aaron berjengit. Apa-apaan sih, pikirnya.

Niatnya Aaron ingin menunggu Mita keluar kelas saja kalau ia tidak melihat Genta yang sedang berjalan menuju kelas. Kata-kata Qilah tadi bisa saja jadi kenyataan, jadi Aaron secepat kilat melesat ke dalam kelas Mita.

“Miiit! Balik sanaaa! Angkat bangkunya woy gue mau nyapu!”

Teriakan Reva—si ketua padus—adalah yang pertama kali menyambangi rungu Aaron waktu ia memijakkan kaki di kelas Mita. Mita sendiri sedang menelungkupkan kepala di atas meja. Entah kenapa.

EvanescentOnde histórias criam vida. Descubra agora