3. Langit Malam dan Sebuah Janji

216 33 20
                                    

Genta tahu yang dilakukannya memang keterlaluan. Ia juga paham betul kalau rencananya salah dan ia tak pantas berkehendak. Tapi ia ingin menjadi orang yang egois. Setidaknya sekali seumur hidup. Bukan cuma orang lain kan yang bisa egois?

Kira-kira begitu cara berpikirnya sehingga ia nekat untuk pindah sekolah. Semuanya ia lakukan demi memulai segalanya dari awal. Mengenal orang-orang baru, teman-teman baru, dan merubah diri menjadi pribadi yang baru.

Sepasang manik cokelat gelap milik Genta mengerjap pelan sehabis menatap langit malam. Pandangnya ia arahkan ke sesosok figur yang ia setel sebagai wallpaper ponselnya.

 Pandangnya ia arahkan ke sesosok figur yang ia setel sebagai wallpaper ponselnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu puas ya Li? Aku gak tau kamu yang jahat atau emang akunya yang bego." Ucap Genta bermonolog.

Anak lelaki itu sekarang sedang berada di atas gedung kosong yang berhenti dibangun. Kebiasannya kalau sedang rindu dengan gadis di layar ponsel yang ia ajak bicara tadi.

Kasus Genta rumit sekali. Tak seperti kebanyakan laki-laki yang tinggal menuju rumah si perempuan kalau sedang kangen. Yang tinggal mendial nomor telepon si perempuan kalau jarak memisahkan cukup jauh. Atau yang tinggal melakukan panggilan video jika rasa rindu sudah menggebu-gebu.

Genta jelas-jelas tak dapat melakukan itu semua. Jadi satu-satunya jalan yang ia tempuh ya menyendiri sambil bermonolog di bawah langit malam.

Iya. Dangdut banget emang si Genta.

"Aku kangen, Li."

Sekuat tenaga Genta menahan suatu aktivitas menyakitkan yang seketika menyergap rongga dadanya. Ia menggigit bibir bawah berupaya menahan helaan napas berat yang ingin sekali lolos keluar. Ia ingin mengeluh. Ingin memaki. Ingin menyalahkan seseorang. Yang ia sendiri tidak yakin siapa orang tersebut.

Julia Arunika Sanjaya. Satu nama yang masih terpahat rapi di hati Genta. Satu figur yang selalu mengambil waktu tidurnya saat malam. Satu orang yang membuat dunianya seolah pecah jadi potongan-potongan kecil.

Genta menutup matanya. Berusaha mengontrol potongan-potongan memori dimana Lia-nama panggilan perempuan itu-mengutarakan begitu banyak kata maaf padanya.

Waktu itu Genta betulan hilang akal. Ia tak mengerti kenapa Lia terus saja meracau tidak jelas soal banyak hal seperti ;

"Mungkin ini bakal jadi obrolan terakhir kita."

"Aku capek banget, Mi. Tapi aku ga mau pergi. Tapi gimana ya? Aku dipaksa."

"Aku ga mau pisah sama kamu."

Sekarang Genta bahkan memegangi kepalanya dengan dua tangan. Ia tak ingin kehilangan kendali hanya karena begitu banyak memorinya dengan Lia tiba-tiba menyerbu.

Memang sudah hakikatnya pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan. Tapi sumpah mati, Genta tak menyangka semuanya akan secepat ini.

Semua orang selalu menekankan padanya kalau ini semua cuma masalah waktu. Mereka bilang akan datang hari di mana ia bisa bebas dari kenangan masa lalu dan berpindah ke lembar hidup yang baru. Tapi yang sejauh ini Genta lalui, perkataan orang-orang itu lebih terdengar seperti omong kosong. Karena pada nyatanya ia masih tak bisa lepas dari bayang-bayang Lia.

EvanescentWhere stories live. Discover now