21. Accidentally Meet [2]

94 18 35
                                    

Genta hampir lupa kapan terakhir kali ia mengunjungi kakaknya. Dua bulan? Tiga bulan? Entahlah.

Hari ini adalah hari libur nasional. Karena ia tak punya kegiatan apa pun, jadilah ia pergi sendirian untuk menemui sang kakak. Biasanya ia bakal minta izin atau setidaknya bertanya pada Papa dan Mamanya ingin ikut berkunjung atau tidak. Tapi, kali ini dua orangtuanya itu sedang tidak ada di rumah. Jadi Genta memutuskan untuk pergi sendiri.

Butuh sekiranya empat puluh lima menit untuk sampai ke tempat sang kakak karena jarak yang lumayan jauh. Genta memarkir motornya di dekat pos satpam. Tak membutuhkan waktu yang lama baginya untuk sampai di lantai tiga. Genta sudah ada di depan sebuah pintu sekarang. Ia menghela napas sebentar sebelum benar-benar masuk.

Langkah kakinya terus saja melaju sehabis menutup kembali pintu di belakangnya. Ruangan ini sepi. Hanya ada beberapa ranjang yang diisi tubuh-tubuh kurus.

"Teh Tia," satu sapaan itu yang pertama kali Genta keluarkan begitu kakinya sampai di dekat ranjang paling ujung dekat jendela

Seorang perempuan berambut sebahu kemudian menoleh. Menatapnya dengan pandangan sayu dan lesu seperti biasa. Oh, jangan lupakan lingkaran hitam di sekitar matanya yang membuat Genta merinding.

"Eh, kamu dateng?"

Genta mengangguk. Ia kemudian duduk di pinggir ranjang.

"Mama sama Papa?"

"Ada acara bisnis."

Perempuan di depan Genta menangguk sekilas.

Ah, iya. Perkenalkan. Judistia Lekha Utami, kerap dipanggil Tia. Kakak perempuan Genta yang sedang menjalani proses rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat.

Kaget?

Genta juga demikian waktu pertama kali menemukan kakaknya sakau hampir sekarat sendirian di kamar. Ia sempat berpikir ada apa dengan orang-orang di sekitarnya sampai bisa menyembunyikan hal keji semacam ini dengan sangat rapi.

Kakaknya ditemukan dalam keadaan itu tak lama setelah Lia dinyatakan meninggal karena overdosis. Jadi, apakah kalian sudah mengerti bagaimana kronologisnya Lia bisa terjerat obat-obat terlarang itu? Iya. Tia yang mengajaknya bergabung.

Beruntung kakak kandung Genta ini tidak terlalu banyak mengonsumsi benda haram tersebut. Ia bahkan sudah mencoba mati-matian untuk berhenti. Jadi saat ditemukan dengan keadaan mengenaskan itu ia masih selamat sampai dibawa ke instalasi gawat darurat rumah sakit ini.

"Teteh boleh pulang kapan?"

Tia mengulas senyum kecut sebelum menjawab,"Kamu tuh, gak malu punya kakak kayak teteh? Kenapa malah tanya teteh pulang kapan?"

Genta berdecih. Ia benci sekali kalau kakaknya ini memulai pembicaraan yang macam-macam. Seperti sekarang ini contohnya.

"Udah, teh. Yang udah ya udah. Teteh tuh nganggep Ami kayak apa sih? Kenapa ngomongnya gitu?"

"Pacar kamu mati gara-gara teteh, Ami."

"Nggak. Memang udah takdirnya gitu. Teteh ga boleh nyalahin diri sendiri."

"Tapi tetep aja—"

Perkataan Tia berhenti di sana. Bukan kerena tenggorokannya mendadak kering atau apa. Hanya karena tatapan Genta yang begitu menusuk dan dalam. Seolah menyuruhnya untuk berhenti bicara atau lelaki ini bisa saja ngamuk habis-habisan.

Mereka berpandangan selama beberapa detik. Karena tak tahan menerima tatapan laser dari adiknya sendiri, Tia melempar pandang. Dadanya sesak setiap kali melihat wajah Genta. Hatinya remuk setiap kali mengingat betapa hancurnya anak lelaki itu waktu Lia berpulang kepada Tuhan.

EvanescentWhere stories live. Discover now