19. Can't Deny

111 22 50
                                    

"LO?! GENDONG GUE? SAMPE KAMAR?"

Genta menaik turunkan kepalanya tatkala Mita bertanya dengan suara yang melengking seperti biasa. Siang itu matahari betulan bekerja ekstra karena terik sinarnya betul-betul serasa menusuk sampai ke tulang. Dua anak itu sedang berada di kantin kantor yang lengang. Karena kebanyakan karyawan memilih untuk makan di luar saat jam istirahat tiba.

"Jangan becanda, Agi."

"Emang muka gue kayak lagi becanda?"

Eksperesi yang sekarang Genta buat benar-benar mewakili pertanyaannya. Anak lelaki itu tengah memasang wajah serius plus tatapan mata yang tajam menusuk. Ia sepertinya sedang dalam suasana hati yang kurang baik. Mita jadi tak yakin untuk melanjutkan konversasi.

"Ya, enggak, sih. Yaudah makasih, deh."

Sehabis berkata demikian, Mita sedikit mencebikkan bibir. Ia melakukan hal itu jika sedang kecewa pada sesuatu. Dan kali ini ia merasa agak kecewa karena Genta tak menanggapi pertanyaannya dengan antusias seperti biasa.

Perihal Genta sendiri, ia tentu memiliki alasan di balik aksinya yang demikian. Hatinya masih kalut karena ia mendengar Mita beberapa kali memanggil nama Aaron saat ia menggendong anak perempuan itu untuk sampai di kamar kemarin malam.

Namun rasa kesal yang menyinggahinya seketika meluap entah ke mana waktu melihat Mita yang berekspresi murung dan kelihatan kecewa.

Sekarang anak perempuan itu sedang memainkan tutup botol minuman teh berperisa apel yang isinya tinggal seperempat. Bukan hal yang penting dan serius. Tapi, percayalah. Genta merasa gemas sendiri melihat pemandangan itu. Mita kelihatan sangat polos. Sama sekali tidak kelihatan seperti anak egois dan keras kepala yang semalam ia temui.

"Emang kenapa kalo gue gendong lo sampe kamar?" tanya Genta

Kali ini Mita mengangkat kepalanya.

Ia kemudian menjawab,"Gapapa, sih. Emang pas lo gendong gue, di rumah ga ada orang? soalnya ga ada yang ngomong apa-apa ke gue tadi pagi."

"Ada, kok. Bokap lo yang bukain pintu buat gue semalem."

"HAH? BOKAP GUE LO BILANG?"

"Iya. Bokap lo. Yang tinggi, gede, sama brewokan tipis, kan?"

Mita mengangguk. Tapi ia melongo.

"Lo gak ditanya macem-macem sama bokap gue?"

"Nggak. Cuma diajak ngopi doang."

"Anjir. Serius ga sih?"

Genta sebenarnya bingung kenapa reaksi Mita segini panik. Memangnya kenapa kalau ia bertemu dengan ayah dari anak perempuan itu? Memang ayahnya kanibal? Drakula?

"Ya serius. Ngobrol bentar, sih. Sama bilang makasih ke gue karena udah nganter lo pulang. Emang kenapa dah? Kok lo panik gitu kayaknya?"

Mita tak lantas menjawab. Pikirannya benar-benar kosong sekarang. Papinya? Bagaimana bisa?

Masalahnya selama ini Mita selalu kena omel papinya kalau ia ketahuan sedang jalan dengan Aaron. Seingat Mita, papinya paling tidak suka melihat Mita berkeliaran atau menghabiskan waktu dengan anak lelaki—minus Satria.

Papinya selalu melarangnya pacaran. Membatasinya pergi main ke luar dengan siapa dan ke mana. Lalu semalam digendong Genta yang notabene tidak dikenal papinya, bagaimana bisa Genta tidak kena semprot?

"Oh. Gue tau," kata Genta tiba-tiba

Kalimatnya barusan sukses membuyarkan lamunan Mita hingga berhasil membuat anak perempuan itu mengangkat alis kemudian bertanya.

EvanescentWhere stories live. Discover now