18. Tired

108 21 25
                                    

Mita yakin seandainya ia tidak duduk di samping blower, ia pasti sudah pingsan tak berdaya. 6 buah air con di ruang pelayanan saja tidak ada rasanya. Apalagi di dalam tenda yang sengaja dipasang di lahan parkir depan ini. Beruntung sesaknya kerumunan dan panasnya udara tak begitu menguras habis tenaga Mita. Ia berterima kasih pada kipas blower yang ada di sebelahnya.

Bulan April di Kantor Pajak betul-betul definisi sesungguhnya dari simulasi neraka.

Karena anak perempuan itu ditugaskan di divisi ekstensifikasi, dan kebetulan hampir seluruh karyawan di divisinya kebagian menjaga loket pembayaran pajak penghasilan badan/perorangan, ia mau tak mau harus ikut andil.

Bisa dibilang hari ini bukan yang pertama bagi Mita untuk menjaga loket pembayaran. Sejak bulan Maret lalu ia sudah membantu instrukturnya melayani loket dan memberikan tanda bukti telah resmi membayar pajak ke si pelapor. Tapi di minggu-minggu awal bulan April ini kantor pajak benar-benar penuh tidak seperti bulan-bulan sebelumnya.

“Udah yuk, Mit. Bikin langsung aja berita acaranya. Bapak ke ruang pelayanan dulu.”

“Siap, Pak!”

Setelah Mita memberikan gestur hormat, instruktur prakerinnya berlalu. Ia sendiri langsung meregangkan otot kemudian menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi.

“Capek ya, Neng?”

Barusan adalah suara pak satpam yang kebetulan sedang kontrol keliling tenda karena beberapa loket masih buka.

“Hahaha lumayan, pak.”

“Nanti jangan pulang dulu, ya. Jam tiga tadi kateringnya baru sampe. Ambil kotak makan dulu di ruang kerjanya.”

“Oke!”

Pak satpam yang tadinya ngobrol dengan Mita langsung bergegas pergi entah ke mana. Karena dirasa badannya yang sempat berkeping-keping sudah kembali utuh lagi, Mita buru-buru menaruh fokusnya pada layar komputer. Tangan kanannya yang sudah mau copot ia paksakan memegang mouse dengan benar untuk mencetak berita acara tentang laporan pelayanan hari ini.

“Udah beres, Ses?”

Suara Naya barusan memecah lamunan Mita. Mata anak itu memang menatap ke arah layar komputer tapi pikirannya entah sedang melayang ke mana.

“Eh—hah? Apaan?”

“Itu, berita acara lo udah keluar.” Kata Naya sambil mengarahkan dagunya ke mesin cetak

“Oh, iya. Haha. Lo udah beres?” tanya Mita balik.

Kali ini fokusnya ia taruh pada berita acara dan menyatukan lembaran kertas yang masih panas itu dengan berkas-berkas laporan pajak yang hari ini ia tangani.

“Udah, nih.”

Mita menganggukkan kepalanya ketika ia melihat setumpuk kertas formulir yang sekarang sedang di dekap Naya.

“Yoan,”

Yang barusan ini suara Genta.
Suara berat anak lelaki itu berhasil membuat dua kepala menoleh sekaligus. Iya. Milik Mita dan Naya. Genta berdiri di dekat dua anak perempuan itu dengan masing-masing tangannya memegang tas Mita dan satu kotak makan.

“Udah sore banget njir. Lo gue cari ke atas ga ada.” Kata Genta lalu menyerahkan tas di tangannya kepada si empunya. Tapi tidak ditanggapi.

“Ya orang loketnya baru tutup. Masa gue udah di atas. Ngapain lagi pake lo bawa-bawa segala ini perabotan gue?” tanya Mita ketus

“Eh? Bukannya makasih udah gue bawain? Kok malah ngegas?”

“Aduh Nay, lo urus deh curut satu ini. Gue ke ruang pelayanan dulu.”

EvanescentWhere stories live. Discover now