38. Only One

77 11 0
                                    

Senin depan ujian kenaikan kelas sudah dimulai. Tapi, Qilah masih sempat-sempatnya berbuat bodoh dan melukai diri. Itu soal dia yang lagi-lagi dilarang mamanya untuk berkunjung ke tempat papanya. Mita pikir, hal-hal seperti ini tak akan terjadi lagi. Dia hampir percaya kalau Qilah sudah benar-benar dalam kondisi baik dan tak akan melukai dirinya lagi. Tapi, Mita salah total.

Jadilah sejak jam pelajaran ke-empat berakhir, Mita dan Qilah meninggalkan kelas dan pindah ke ruang kesehatan. Qilah sekarang sedang tidur. Matanya bengkak—karena terlalu banyak menangis—dan wajahnya pucat sekali. Jujur, kenampakan itu sangat menyakiti Mita. Mengingat kalau Qilah adalah anak yang cantik dan baik, mengingat kalau ia tak seharusnya menerima begitu banyak rasa sakit di usia mereka yang masih terlalu dini, mengingat kalau karibnya itu sesungguhnya pantas bahagia.

Hati Mita sakit sekali. Dia juga pernah beberapa kali mencoba melukai dirinya sendiri, tapi tak pernah benar-benar melakukannya karena dia pikir itu akan merepotkan orang lain. Mita teringat kalau rasa sakit yang selama ini dikonsumsinya tak kalah banyak dengan yang Qilah alami. Dia hanya pandai mengubur dan menyembunyikannya. Itu saja.

Mita tersenyum kecut sambil menyeka sudut mata. Ia tak mau kelemahannya terbukti dengan beberapa bulir air mata yang hendak menetes.

"Ada yang jaga nggak?" Mita langsung menoleh ke pintu masuk waktu ia samar-samar mendengar suara—yang sepertinya milik Arya. Benar saja. Setelahnya, Arya dan Aaron yang bersetelan seragam olahraga sudah masuk ke ruang kesehatan.

Mita bisa lihat dengan lumayan jelas kalau dua anak itu sedikit terkesiap karena yang pertama kali mereka lihat adalah dirinya, bukan petugas PMR yang sedang jaga.

"Nggak ada yang jaga. Kenapa?" tanya Mita. Dua anak lelaki di hadapan Mita itu bertukar tatap sebentar sebelum akhirnya Arya buka suara.

"Ini, si Inas luka karena jatuh pas lagi ambil nilai sprint."

Selesai Arya bicara begitu, Mita bangkit dari kursi. Ia berjalan mendekat sambil bertukar tatap kaku dengan Aaron. "Mana coba liat lukanya."

Mita meneliti bagian bawah siku Aaron yang mengeluarkan titik-titik darah. Dia bilang, lukanya kelihatan tak seberapa dalam dan dia bisa mengurusnya tanpa perlu memanggil petugas PMR. Arya mengangguk paham lalu pamit kepada Aaron dan dia berkata kalau dia akan menyampaikan pada guru olahraga bahwa Aaron harus meninggalkan jam pelajaran untuk menangani luka. Aaron mengangguk paham kemudian mempersilahkan Arya pergi.

Tak ada konversasi serius yang terjadi selama Mita membantu Aaron menangani luka. Aaron hanya duduk diam di tepi brankar sementara Mita duduk di kursi tepat di depannya. Ini semua terasa seperti de javu. Aaron sesungguhnya tak meminta otaknya untuk memutar ingatan masa lalu, tapi sekarang sesuatu di dalam tempurung kepalanya itu sudah bekerja ekstra dan membawa Aaron kembali saat ia pertama mengenal Mita. (Chapter 23)

"Lo kenapa sih, hobi banget jatuh dan luka di siku?" tanya Mita untuk memecah keheningan. Ia sekarang tengah membersihkan luka Aaron dengan penuh kesungguhan. Persis seperti yang ia lakukan di masa lalu.

Aaron, alih-alih menjawab, malah memasang senyum idiot dan mengedikkan bahunya sekilas. Tak lama kemudian, pandangnya bertemu dengan milik Mita.

"Aaron, jangan jatuh lagi. Kasian sikunya."

Tak mampu menjawab secara verbal, Aaron cuma mengangguk kecil. Ia tak mau mengeluarkan suara kalau nanti getar dalam suaranya bakal disadari oleh Mita. Jujur, sekarang ini Aaron tengah menahan diri untuk tidak jadi cengeng. Dia sesungguhnya ingin sekali menangis karena terjebak di situasi ini dengan Mita.

Bagi Aaron, Mita masihlah jadi satu-satunya. Tapi, ia baru saja dihantam realita kalau mereka sekarang bukanlah apa-apa. Dengan cara Mita yang sudah bicara informal padanya, dengan cara Mita memanggil nama aslinya, dan dengan cara anak perempuan itu menatap matanya. Aaron tersadar, mereka sudah benar-benar berakhir.

EvanescentWhere stories live. Discover now