34. Without U

123 24 64
                                    

Dua minggu sudah berlalu dan terasa begitu kelabu—baik bagi Aaron mau pun Mita. Keduanya memang menjalani hari-hari seperti biasa, tapi entah kenapa, rasanya terlalu asing dan hampa.

Keputusan yang mereka sepakati untuk memutus hubungan sepertinya tidak memiliki dampak yang baik. Buktinya, alih-alih merasa lega dan bahagia—baik keduanya, justru kentara sekali merasakan luka.

Tentu saja selain diri mereka masing-masing, tak banyak yang tahu soal perkara ini. Karena, memang dasarnya hubungan Aaron dan Mita sudah terlihat tidak transparan dari awal. Jadi, saat mereka resmi putus sekali pun tak ada anak-anak yang ribut—karena mereka tidak ada yang tahu.

"Gue jadi bingung anjir kalo gini caranya."

Satria mendengus kasar setelah bicara. Ia melirik Mita di sebelahnya yang sedang mengemut es krim nanas dengan sangat sendu.

"Pegangan sih kalo bingung," sahut Mita

"Nggak, Mita. Masalahnya ya, lo tuh udah kayak bunga layu. Apa sih? Kecakepan deh. Udah kayak mumi jelek busuk yang mati ogah tapi masih doyan keluyuran, tuh lebih tepat."

Mendengar celotehan Satria yang tak masuk di akal, Mita cuma memutar dua bola matanya malas. Sebenarnya ia tahu arah bicara anak lelaki itu menuju ke mana. Hanya saja, Mita terlalu muak dan malas untuk menanggapinya.

Waktu itu jam istirahat ke dua. Di dalam kelas hanya ada beberapa anak. Termasuk Satria dan Mita yang tengah adu mulut.

"Lo buat apa putus kalo ujungnya malah makin galau, bego," ucap Satria—lagi—karena perkataan terakhirnya tak direspons.

"Siapa yang galau, sih?"

Suara Mita meninggi. Beberapa pasang mata yang ada di ruang kelas jelas refleks memaku pandang ke arahnya. Merasa terganggu, anak perempuan ini mengeluarkan sisi premannya untuk menatap balik semua pasang mata tersebut. Iya, akhirnya semua kembali pada kegiatan masing-masing karena takut kepala mereka pecah digerus Mita kalau mereka masih berani ikut campur.

"Ya lo lah, bego. Pake nanya," jawab Satria jengkel.

"Sat, udah deh, please. Pala gue mau pecah. Gausah dah lo ngoceh-ngoceh lagi daripada mulut lo gue kuncir. Udah mingkem aja."

"Gue gimana mau mingkem sih, Mit, kalo kelakuan lo aja kayak gini?"

Mita dan Satria bertukar tatap kemudian. Sebenarnya Mita paham betul kenapa mulut bocor Satria ini terus saja mengganggunya. Iya, anak lelaki ini hanya sudah terlalu lelah melihat Mita—yang notabene adalah karibnya sendiri—terus-terusan bertingkah bodoh cuma karena masalah cinta abal-abalnya dengan Aaron.

Satria berpikir, kabar—dan fakta—putusnya Mita dari Aaron bakal membuat anak perempuan itu mengalami hal baik dan dikelilingi kebahagiaan. Tapi, nyatanya, setelah dua minggu kabar itu ia dengar, keadaan Mita justru memburuk. Anak itu jadi sering diam. Suara toaknya hanya sesekali terdengar. Tertawa pun bisa dihitung pakai jari. Sebagai teman yang sedekat nadi dengan Mita, melihat semua itu, Satria tentu merasa terganggu.

Tapi yang lebih membuatnya terganggu adalah soal kenyataan tentang dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki keadaan. Satria bukan tipe cowok idaman yang bisa dengan mudah mengembalikan mood orang lain lewat kata-kata manis dan menenangkan. Dia justru tipe nenek lampir yang mulutnya bocor dan lebih memilih berkata jujur meski menyakitkan—dan tak membantu apa-apa.

Pusing, anak lelaki itu bangkit dari kursi. Ia melenggang pergi meninggalkan kelas menuju kantin tanpa bilang apa-apa pada Mita. Begitu sampai di kantin, Satria langsung menjatuhkan pandangnya ke meja paling ujung yang cuma ada Genta di kursi panjangnya.

EvanescentWhere stories live. Discover now