17. Accidentally Meet

136 22 28
                                    

Genta membawa motornya menelusuri jalan yang diapit oleh blok-blok di Tempat Pemakaman Umum. Laju kendaraan yang ia bawa berhenti di sebuah blok. Genta turun dari motor. Ia lalu berjalan lebih jauh. Tak lupa membawa sebuket bunya yang telah ia persiapkan lebih dulu.

Setelah merajut langkah sebanyak beberapa puluh meter, Genta sampai. Di sebuah makam berwarna hitam serta bertuliskan Julia Arunika Sanjaya pada batu nisannya.

"Hai, Li. Maaf aku baru sempet dateng."

Sehabis bicara, Genta menaruh bunga dan menyandarkannya pada batu nisan. Anak itu mengulas senyum. Ia lalu seperti biasanya mengoceh sendiri di depan makam.

"Aku udah ga mikirin kamu terus, Li. Ini kabar baik atau kabar buruk, ya?"

"Kamu gimana di sana? Pasti lagi minum susu di pinggir sungai, kan?"

Geli sendiri, Genta tertawa kecil. Semasa hidupnya dulu, Lia ini sering sekali bicara kalau impiannya adalah minum susu di sungai yang ada di surga. Tapi tawa yang tadinya Genta keluarkan seketika hilang begitu saja waktu organ di dalam rongga dadanya sana tiba-tiba terasa nyeri.

"Sebenernya aku dateng ke kamu mau curhat macem-macem. Tapi pas udah sampe sini kok aku bingung ya mau ngomong apa. Kamu udah tau ya aku mau ngomong apa? Kamu ada di sini ga sih, Li?"

Genta menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari—atau merasakan—eksistensi Lia yang tak lagi dapat ia lihat wujudnya.

"Yah, intinya aku mau bilang kalo aku kayaknya beneran suka sama satu cewek. Dia temen sebangku aku di sekolah baru. Kamu marah ga?"

"Eh, ntar dulu. Kamu harus liat dulu nih orangnya."

Sebut saja Genta sinting. Karena sambil mengucapkan kalimat terakhirnya, anak itu betulan menunjukkan foto dari ponselnya ke arah batu nisan.

"Gimana, Li? Mukanya jutek banget ya? Haha orangnya juga jutek. Tapi rada oon."

"Aku suka sama dia karena dia mirip kamu. Suka pura-pura senyum. Suka pura-pura baik-baik aja. Padahal isi kepala sama hatinya berantakan banget."

"Suaranya juga bagus. Dia juga anak padus Li. Sama kayak kamu. Tapi kalo aku suruh nyanyi ga mau. Katanya suaranya mahal. Persis banget kayak kamu kalo aku suruh nyanyi."

"Mungkin aku udah jadian sama dia kalo aja dia ga punya pacar, Li. Jahat ya aku mau ngerebut pacar orang?"

"Tapi pacarnya dia itu si anak sialan yang bikin kamu kayak gini. Kamu inget nggak, Li? Dia yang ngalahin kamu di kompetisi nasional tahun lalu."

"Aku mau ngambil pacarnya karena kamu juga diambil Tuhan gara-gara dia."

"Biar dia tau rasanya gimana kehilangan orang yang paling dia sayang."

"Awalnya tujuanku gitu. Tapi karena deket sama si cewek ini aku malah jadi suka beneran. Terus kayaknya percuma juga kalo aku ngelanjutin beberapa hal yang kalo aku lakuin bakal jadi kriminal. Kamu marah nggak Li sama aku?"

"Joe sama Hadi selalu bilang kalo kamu ga bakal seneng semisal aku kayak gini. Terus aku harus gimana, Li? Aku bingung."

→←

Mita menelusuri jalan setapak melewati banyak sekali makam. Ia baru saja selesai ziarah ke tempat peristirahatan terakhir mendiang temannya.

Namun ada satu hal yang menarik perhatian Mita sebelum ia melanjutkan langkah menuju gerbang utama Tempat Pemakaman Umum ini. Begitu ia sampai di jalan yang mengapit blok-blok makam, ia menemukan motor yang mirip dengan milik Genta. Ia berjalan sedikit untuk melihat platnya. Benar saja. Ini motor Genta.

EvanescentWhere stories live. Discover now