50.5 Honesty

10 4 0
                                    

Sebodoh-bodohnya Satria dan Qilah, kalau dua pemikiran mereka digabung, itu tidak akan jadi terlalu buruk. Buktinya mereka berdua sadar kalau ada sesuatu yang tidak baik sedang terjadi di antara Mita dan Genta. Sudah seminggu mereka memerhatikan dan tidak ada kemajuan. Mita dan Genta kelihatan jarang sekali berinteraksi. Bicara pun hanya dilakukan oleh keduanya hanya di keadaan paling mendesak.

Sudah seminggu. Tidak ada suara melengking milik Mita yang terdengar akrab di telinga saat anak perempuan itu dijahili oleh Genta. Tidak ada suara-suara protes dari sekeliling Genta yang sering ramai terdengar saat dia mengeluarkan jurus gombalnya untuk Mita.

Sudah seminggu. Satria dan Qilah sudah tak mampu menyembunyikan kuriositas mereka jadi hari ini adalah hari di mana mereka akan menginterogasi Mita. Bukan bermaksud ingin ikut campur, Satria dan Qilah berencana untuk membantu Mita dengan masalahnya semisal anak perempuan itu butuh.

Di sinilah ketiganya sekarang. Duduk mengelilingi meja bundar di tengah kepadatan kantin pada jam istirahat ke-dua. "Gue seringnya bilang apa coba? Cerita. Gak semuanya bisa lo tanggung sendiri, Mita," cerocos Satria yang kontan disambut rotasi sempurna dari bola mata Mita.

"Iya, Mit. Ini kayaknya yang terparah gak sih? lo sama Genta paling lama marahan paling cuma tiga hari?" tambah Qilah. Mita tak dapat menahan diri jadi dia menghela napas berat. Sedikit memberikan kode kalau perihal yang disinggung Satria dan Qilah sekarang ini sangatlah membebaninya.

Sejujurnya, Mita mengerti kalau tindakan Satria dan Qilah ini tidaklah memiliki tujuan yang buruk. Mita tahu kalau dua karibnya ini hanya memberikan perhatian yang sesungguhnya memang pantas untuk dia dapatkan, karena mereka adalah teman. Tapi, rasanya sangat sulit bagi Mita kalau dia harus menceritakan dan menjelaskan ulang tentang apa yang terjadi padanya dengan Genta. Dirinya sendiri belum sepenuhnya pulih dari segala luka yang dia dapat dari masalah ini. Itu kenapa rasanya masih sulit bagi Mita untuk melakukan kilas balik dan membicarakannya.

Beberapa menit terbuang dan yang terjadi hanyalah pertukaran tatap antara Mita, Qilah, dan Satria. Mita bersyukur meski Satria dan Qilah memintanya untuk cerita, tapi mereka tidak memaksa. Selama beberapa menit yang mereka gunakan hanya untuk berpandangan tadi, Mita sebenarnya tengah berpikir dan mempersiapkan diri untuk bicara. Meski awalnya agak ragu, tapi akhirnya Mita memantapkan diri karena dia pikir itu sama saja mau dia ceritakan sekarang atau nanti—sakitnya akan tetap sama, jadi dia memutuskan untuk bicara sekarang.

Satria dan Qilah adalah karib Mita yang sungguh berharga. Mereka juga pandai menyimpan hal penting untuk diri mereka sendiri. Hal itu menambah keyakinan Mita untuk bicara. Jadi, akhirnya dia bicara. Mita menceritakan segala hal yang terjadi padanya dengan Genta dengan sangat rinci. Tak ada yang terlewat, tak ada yang dikurangi, dan tak ada yang dia lebihkan.

Hal tersebut meninggalkan baik Satria maupun Qilah dalam keterkejutan total. Setelah Mita selesai bicara, mereka berdua bertukar tatap dengan ekspresi wajah yang tak beda jauh—alis bertemu, dahi mengerut, dan mulut terbuka sedikit.

Kalau tadi Mita yang diam selama beberapa menit, sekarang giliran Satria dan Qilah. Jangankan untuk paham dan memberikan respons atas bicara Mita barusan, bernapas saja dua anak itu rasanya kesulitan. Mereka sama-sama kehabisan ide. Secara bergantian, mereka mengutarakan ketidakpercayaannya atas hal malang dan rumit yang harus Mita lalui. Yang hanya disambut satu senyuman miris dari Mita.

"Sori, Mit. Gue sama Qilah niatnya mau bantu atau mungkin kasih saran misal lo butuh. Tapi kalo gini ceritanya mah... susah..." kata Satria yang langsung menuai anggukan cepat dari kepala Qilah.

"Gapapa. Makasih ya, Sat, Qil, udah mau tanya dan mau dengerin."

→←

EvanescentDonde viven las historias. Descúbrelo ahora