7. His Weakness

162 24 20
                                    

Genta tak tahu apa sebabnya Mita tiba-tiba memeluknya sangat erat. Ia bahkan belum berucap sepatah kata pun lalu perempuan itu seperti hilang kendali dan tahu-tahu sudah melingkarkan lengan di tubuhnya.

Harusnya Genta sudah mengajukan protes. Tapi tiba-tiba lidahnya kelu begitu merasakan kemeja sekolahnya menghangat. Beberapa titik di bagian perutnya—tempat kepala Mita sekarang berada—jelas sekali terkena cairan hangat. Sepertinya perempuan ini menangis.

"Eh, Ita, kenapa?"

Barusan adalah suara dari seorang laki-laki paruh baya yang diprediksi Genta sebagai si empunya kios. Ia menatap lelaki itu sambil menggeleng upaya mengekspresikan ketidak tahuannya.

"Yo,"

"Yoan, ini gue Genta."

Berulang kali tubuh Mita diguncang baik oleh Genta atau Mang Asep. Tapi anak perempuan ini masih saja sesegukan dan menangis tanpa suara. Oh, tolong catat kalau ia masih memeluk Genta—yang dianggapnya sebagai Aaron.

"Ini emang dia kenapa ya, pak? Gak salah makan kan, ya?" tanya Genta pelan ke Mang Asep yang sudah mengambil tempat duduk di dekat mereka

"Nggak, kok. Bubur yang saya buatin juga kayaknya belum sempet dimakan."

"Bapak ga naro racun atau semacam obat bius gitu kan?"

"HEE SAENAK JIDAT WAE KALO NGOMONG MANEH NA!"

"Becanda pak saya, ya ampun. Gausah teriak-teriak juga."

Mang Asep awalnya ingin mengambil centong bubur dan siap menghajar kalau Genta tidak minta maaf dan pasang wajah cengar-cengir. Tapi kemudian ia malah membuka topik pembicaraan dan mengajak anak lelaki itu mengobrol selama Mita masih kehilangan akal.

"Lagi kesel paling si Ita. Abangnya pulang ke rumah."

"Iya, tadi ketemu saya dulu kok. Saya abis nganter dia pulang trus ada abangnya. Ga kasih salam atau apa, malah kabur ke sini."

"Nganter pulang? emang kamu siapanya Mita? Kok nganter pulang segala?"

"Temennya, pak. Saya baru pindah tempat tinggal trus pindah sekolah dan sekelas sama Mita. Nama saya Genta."

Sejemang, ada keraguan yang terpampang jelas di wajah Mang Asep. Lelaki itu bahkan memberi tatapan penuh selidik ke arah Genta dengan cara menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Panggil mamang aja. Mang Asep."

Niatnya si mamang ini ingin menginterogasi Genta lebih banyak. Ia memang bukan siapa-siapa dan tak ada hubungan darah sama sekali dengan Mita tapi entah kenapa ada rasa mendesak dalam dirinya untuk selalu was-was perihal anak perempuan yang polos ini. Mang Asep tak ingin kejadian yang sudah-sudah terulang lagi. Terlebih Mita belum pernah menceritakan apa-apa soal si Genta ini. Jadi lelaki itu sedikit banyak punya rasa khawatir.

Harusnya niat Mang Asep berjalan mulus kalau saja tak ada segerombol orang yang tiba-tiba datang ke kiosnya dan memesan makanan. Lelaki itu terpaksa harus meninggalkan Mita dan Genta untuk beberapa saat karena harus melayani pesanan.

Padahal sudah beberapa menit sejak terakhir kali Genta memeriksa Mita. Gadis itu masih terisak dalam diam. Entah apa yang sedang terjadi dengan perempuan itu. Genta benar-benar kehabisan ide. Ia hanya mengikuti instingnya untuk membuat beberapa gerakan menenangkan supaya Mita berhenti menangis.

Awalnya tak ada sama sekali hal yang mengganggu Genta saat ia berusaha membuat Mita tenang. Tangannya dengan leluasa menepuk bahu atau sesekali mengelus kepala Mita. Tapi tidak sampai sekelebat bayangan Lia mampir di benaknya.

Kepala Genta tiba-tiba pening. Serebrumnya memutar banyak sekali kenangan saat ia sedang menenangkan Lia yang sering hilang kendali karena konflik batin perempuan itu betul-betul serius. Genta ingat. Ingat betul hatinya membeku setiap melihat Lia meretaskan air mata.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang