23. 기억

117 20 42
                                    

Mita tak ingat malam itu sudah pukul berapa. Yang jelas ia hanya ingin cepat-cepat pergi ke bangunan bobrok yang biasanya dijadikan tempat nongkrong oleh Dika. Kalau saja kakak angkatnya itu tidak suka main tangan, Mita tak bakal menurutinya untuk mengantarkan hal sepele yang sekarang ia pegang ; capsule wireless speaker.

Gila kan?

Iya. Mungkin gila bisa jadi kata lain yang mewakili pribadi si Dika sialan itu.

Ini sudah yang ke sekian kalinya Mita menahan diri. Ia ingin sekali melapor pada Mami dan Papinya kalau lelaki yang bahkan tak punya hubungan darah dengannya ini sudah masuk lingkar pergaulan yang tidak benar. Mita tahu Dika memakai narkotika berbahaya. Dan karena hal bodoh itu, ia jadi harus hidup di dalam ketidak tenangan yang mutlak.

Dika sering kali memukulnya kalau ia tidak menurut. Ia juga mengancam akan melukainya semisal perihal obat-obatan yang ia pakai sampai ke telinga Papi dan Maminya.

Itu lah alasan kenapa Mita harus repot-repot pergi menghampiri lelaki brengsek itu padahal hari sudah hampir larut.

Butuh waktu lima belas menit bagi Mita untuk sampai. Ia langsung saja masuk dan menyerahkan speaker yang Dika minta.

Harusnya Mita bisa langsung melangkah ke luar kalau saja Dika tak menahannya. Anak lelaki itu sepertinya sedang teler dan salah menangkap ekspresi wajah Mita. Sebenarnya salah Mita juga karena ia memasang ekspresi jengkel bukan main. Dika yang sedang tidak sadarkan diri itu jadi emosi dan berakhir memaki-maki Mita sekarang.

“NIAT GA SI LO NGASIHNYA ANJ***?!”

Beberapa orang yang ada di ruangan itu juga sampai berjengit. Ada tiga orang lelaki yang seumuran Dika juga sedang pesta Miras dan obat-obatan terlarang di sana.

Baru kali ini Mita merasa terintimidasi. Ia biasanya bakal lebih keras dari Dika kalau kondisi mereka hanya berdua. Lain dengan yang sekarang ini terjadi karena kalau ia melawan, bisa-bisa ia dimangsa. Bukan oleh Dika sendiri, tapi mungkin saja teman-temannya yang lain juga.

“Niat, bang. Udah kan? gue cabut.”

Untung saja ada suara dentuman musik yang memekakkan dari salah satu ponsel. Jadi suara bergetar Mita barusan tidak kentara terdengar. Padahal, nyalinya sudah ciut sekali. Ia tidak menyangka Dika sedang mengadakan pesta haram seperti ini. Kalau ia tahu, meski Dika bakal membunuhnya, Mita lebih baik tidak pergi dan tidak menuruti keinginan anak bajingan itu.

“SIAPA YANG NYURUH LO PERGI? BANGSAT! SINI LO!”

Mita memejamkan matanya saking keras suara teriakan Dika. Anak perempuan polos ini masih diam mematung begitu Dika bergegas menghampiri dengan gelagat kasarnya yang seolah ingin menyeret Mita sampai mati.

“Wey, udah, lah. Adek lo ini, cuy.”

Kalimat itu baru saja lolos dari salah satu lelaki—yang Mita tidak kenal siapa. Tangannya menahan tubuh Dika yang sudah berguncang karena emosi dan terlalu banyak minum. Mita sempat mengumpati lelaki asing ini dalam hatinya karena berani menahan Dika yang kalau sudah mabuk bisa berubah jadi monster. Tapi, Mita menarik umpatannya tadi sebab dengan ajaibnya Dika menurut. Ia berjalan sempoyongan kembali ke sofa butut tempatnya duduk sebelum ini.

“Makasih ya, dek,” kata si lelaki asing ini sambil mengulas senyum

Ucapan itu terdengar tulus. Sama sekali tidak kedengaran dibuat-buat di telinga Mita. Tapi, ia tidak menjawab. Masih terlalu terkejut.

“Udah malem, nih. Berani pulang sendiri?”

Kali ini Mita mengangguk. Ia kemudian balik badan dan mengambil langkah seribu untuk menjauh.

EvanescentWhere stories live. Discover now