Get it-Mita

422 47 16
                                    

Swastamita Yoan Franseesca

Anak perempuan—yang tidak ada sisi perempuannya sama sekali ini—kelahiran Jakarta, 1 Juli 1998. Tinggi 161 cm dan berat badan tidak ingin dipublikasikan. Golongan darah O serta anak sulung dari dua bersaudara. Gadis tujuh belas tahun ini sekarang ada di penghujung semester tingkat dua Sekolah Menengah Kejuruan. Anak Bisnis Menejemen—Administrasi Perkantoran. Wakil ketua ekskul Jurnalistik tapi juga sering jadi pemimpin paduan suara.

Swastamita, Bahasa Sansekerta yang artinya matahari terbenam ; sore. Nama itu diambil karena ia lahir waktu matahari hendak kembali ke peraduan. Pukul 17:31 senja hari.

Nama panggilannya Mita—itu di sekolah. Di lingkungan rumahnya perempuan ini dipanggil Ita. Perempuan ini asli, tulen, orang Jakarta. Bicaranya mesti pake urat—nggak—memang dari sananya suara perempuan ini keras. Yah, khas orang Jakarta pada umumnya.

Mita ini anaknya supel. Orang yang tidak rumit atau sebut saja fleksibel. Tapi dia kadang-kadang galak terus juga pelupa, haha. Dia cekatan, cerdas, dan mampu menghadapi segala situasi dengan tenang. Terlibat di berbagai organisasi sekolah karena sejatinya ia ingin menemukan letak passionnya di mana.

Berbanding terbalik dengan Aaron, Mita justru pribadi yang konsisten. Terhadap apa pun itu. Tidak seperti Aaron yang kayak punya dua kepribadian, Mita dikenal sebagai orang yang tidak neko-neko. Pergaulannya lurus, hidupnya lurus, pikirannya lurus, cuma selera humornya yang belok.

Oh, satu lagi. Seleranya terhadap laki-laki juga belok. Maksudnya, lihat saja Aaron. Masa' bisa-bisanya perempuan lurus seperti Mita mau jadian dengan Aaron yang setengah begitu? Memang sih, keduanya sama-sama pintar, sama-sama suka kesibukan, sama-sama cinta buku, tapi, Mita sama Aaron itu, aduh. Susah menjelaskannya.

"Siapa yang nyabut colokan charger gue?"

Hening. Isi kelas yang tidak terlalu penuh—karena sedang jam istirahat—itu kebanyakan menggelengkan kepala singkat. Tak ada yang menyahuti pertanyaan Mita yang sudah geram melihat ponselnya tergeletak beserta kepala charger yang tidak tercolok ke terminal listrik.

"Bilang-bilang kek kalo mau gantian, elah."

"Gue yang nyabut. Tadi batre lo udah penuh."

Siswi berkerudung yang sekarang sedang ngenyot es teh beku di depan pintu kelas menyahuti perkataan Mita. Syifa Aqiliyah Navishka, teman sebangkunya, teman dekatnya, teman segala-galanya sampai banyak yang mengira mereka berdua ini pasangan belok.

Mita biasanya bakal bete seharian semisal ada hal yang mengganggu ketenangannya. Even, hal sekecil orang yang tidak tahu diuntung mencabut colokannya seperti barusan. Kalau bukan Syifa yang melakukan itu, Mita bisa saja langsung masuk ke mode kesal dan berakhir mendiamkan si pelaku. Meski cuma seharian.

Beruntung kali ini yang melakukannya adalah Syifa. Untuk urusan galaknya, Mita bisa manahan itu semua kalau sudah di depan teman sebangkunya ini. Entah kenapa.

"Ngomong apa kil, ngomong dulu. Lo mah kebiasaan."

Syifa yang kerap dipanggil—sikil, nggak—Qilah ini langsung menghampiri Mita yang sudah duduk di bangku.

"Lo tadi dicariin Reva, Mit. Gue ketemu dia di kantin. Katanya suruh bilang ke lo nanti pulang sekolah padus ada latihan."

"Iya. Bused dah dia udah ngechat gue tadi padahal."

"Lo bales ga tapi?"

"Kagak."

"Yeeh."

Baru saja konversasi absurd itu selesai. Tiba-tiba Mita kembali diajak bicara oleh seorang siswi yang baru saja melangkah masuk ke kelas. Teman yang duduk persis di belakang bangkunya, Reyni—si ketua ekskul jurnalistik.

EvanescentWhere stories live. Discover now