Pare

2.3K 363 16
                                    


.
.
.
.
.
Pare adalah sebuah kecamatan di kabupaten kediri, jawa timur. Pare adalah ibu kota kediri, dimana di pare terkenal dengan kampung inggrisnya. Dan disini lah Ares sekarang berada, mengendarai mobilnya sendirian menuju kerumah almarhum ibunya.

Ares memang lahir disurabaya tapi dia tumbuh di pare, dirumah yang ayahnya bangun dengan rancangan milik ibunya. Ibu Ares adalah orang asli pare, itulah kenapa beliau sangat ingin Ares tumbuh disana. Semua berjalan lancar hingga keadaan memaksa mereka berpisah, perceraian ayah dan ibunya membuat Ares harus meninggalkan pare diusia 10 tahun.

Ares menghela nafas saat mobilnya mulai berbelok kearah perkampungan tempat rumah ibunya berada. Mobil Ares berhenti tepat didepan rumah dua lantai yang terletak lumayan jauh dari rumah terakhir yang Area lihat tadi, mungkin jaraknya sekitar lima meter.

Ares keluar dari mobil, memandang rumah yang bentuknya sudah banyak berubah sejak dia tinggalkan, ibunya memang melakukan banyak renovasi pada rumah itu. Ares ingat terakhir dia menginjakan kaki kesini, itu delapan bulan lalu saat ibunya meninggal.

Ares melangkah mendekat, membuka pagar lebar-lebar, dia harus memasukan mobilnya kesana. Rumah itu terlihat bersih, sepertinya ayahnya tidak main-main saat mengatakan akan menyuruh orang membersihkan rumah itu. Ares menarik nafas kuat sebelum menghembuskannya.

Setelah memasukan mobil dan kembali menutup pagar rumahnya, Ares mengeluarkan koper yang dibawanya dari surabaya. Membawanya masuk kedalam rumah, tanpa sadar mata laki-laki itu berembun, dia teringat bagaimana senyum bahagia ibunya saat Ares menemui beliau lima tahun lalu.

"Ares pulang ma, meskipun terlambat." Suara pemuda itu terdengar bergetar menahan tangis. Ares memang tidak bisa menangis saat memdapat kabar kematian ibunya saat itu.

"Maafin Ares ya ma, anak mama ini bahkan belum bisa bahagiain mama." Ares menarik nafasnya yang terasa sesak, dia ingin menangis tapi tidak ada setetes air matapun yang terjatuh.
.
.
.
.
.
Ares mengelus ranjang dikamar ibunya, kamar itu sekarang kosong. Ares lebih memilih menempati kamarnya sendiri. Rumah ini menjadi lebih besar dari pada yang ada diingatan Ares, atau memang dari awal sudah sebesar ini. Ada 9 kamar, 4 kamar memiliki kamar mandi dalam, termasuk kamar Ares dan ibunya.

Ares membuka laci nakas disamping ranjang ibunya, matanya memicing saat menemukan sebuah buku catatan disana. Ares yang penasaran segera mengambil dan membacanya. Dan isi buku itu membuat Ares mengernyit karena tidak mengerti, sepertinya buku itu berisi rincian angka-angka pengeluaran dan pemasukan cafe ibunya. Ares mana paham, dia ini anak desain interior bukan ekonomi. Ares terus membuka lembar demi lembar buku itu, hingga dihalaman terakhir, dia kenemukan pesan dari ibunya. Sepertinya ibunya memang sudah mempersiapkan semuanya.

Ares, anak mama, kalau kamu memutuskan pulang kesini, mau gak ngelanjutin cafe mama?
Kalau Ares gak mau mama gak maksa, cuma mama mau pesen, kalau kamu mau lanjutin, tolong tetap pekerjakan Rion sama Igel ya.
Mereka anak-anak baik kok, sama kayak kamu, anak mama yang paling baik.
Mama yakin nanti kedepannya mereka berdua bisa bantu kamu, dulu mereka juga yang bantu mama, nak. Cuma ya gitu, kamu harus sabar sabar sama tingkah mereka.
Ares, perlu kamu tau, mama sayang banget sama kamu.

Ares mengerutkan keningnya, dia ingat mamanya memang memiliki sebuah cafe didepan jalan besar sana, tapi bagaimana dia tau yang mana Rion dan Igel yang dimaksud mamanya. Mamanya punya lebih dari sepuluh pegawai dan Ares sama sekali tidak hafal wajah-wajah pegawai mamanya.

"Aku memang mau nerusin cafe mama, tapi Rion sama Igel itu yang mana sih?" Ares kembali membuka- buka halaman buku itu, akhirnya dia menemukan selembar kertas berisi nomor telfon dengan nama Rigel. Ares pikir dia harus menghubungi nomor itu.

"Sekarang atau nanti ya?" Ares menimang hp nya ragu.

"Nanti aja lah, sekarang mau laporan ke rt setempat dulu." Ares kembali mengantongi hp nya. Laki-laki itu segera meraih tas ranselnya, dia sepertinya akan melihat-lihat suasana dan situasi lingkungan ini dulu, setelah menyelesaikan laporan tinggalnya.
.
.
.
.
.
Langkah kaki mungil milik Ares membawa pemuda itu mengelilingi daerah yang terkenal disana, kampung inggris. Penampilan Ares sore itu juga ransel yang tersampir dibahunya membuat Ares seperti kebanyakan orang yang sedang khursus disana.

Langkah Ares akhirnya membawanya pada bagunan sebuah cafe yang sudah tutup, seperti tidak terurus, ya memang itu kenyataannya sih. Bangunan itu adalah bangunan cafe ibunya berada, Ares sudah memperhatikan bagaimana situasi disini. Banyak sekali pemuda dan pemudi yang khursus disini, dari berbagai kota. Ares jadi memiliki sebuah ide untuk kembali menghidupkan cafe milik ibunya. Ares memang harus menghubungi mantan pgawai ibunya yang bernama Rion dan Igel itu, siapa tau mereka berdua bisa membantu cafe ini, jangan lupa juga dia butuh uang ayahnya.

Ares memutuskan untuk pulang kerumah, waktu sudah semakin malam dan Ares rasa dia butuh istirahat.
.
.


.
.
.
Ares menempelkan hp ketelinganya, disedang berusaha menghubungi pegawai cafe mamanya, berharap semoga mereka mau membantunya kembali membuka cafe.

Tut tut tut

"Halo!"

"Iya halo, ini dengan mas Rigel?" Ares memastikan bahwa dia menghubungi orang benar.

"Iya saya Rigel, ini siapa?"

"Saya Ares mas, anaknya bu Amel." Ares tersenyum.

"Bu Amel, yang punya cafe dijalan besar itu kan?"

"Iya mas."

"Oalah, ada apa ya mas?"

"Sebelumnya saya mau tanya mas, apa mas Rigel udah kerja ditempat lain?" Ares sedikit was was saat menanyakan itu, takut jika Rigel ternyata sudah bekerja ditempat lain.

"Belum mas, susah cari kerja disini sebenarnya."

"Syukurlah, mas Rigel mau kerja sama saya gak?" Ares menghela nafas lega saat mendengar suara tawa dari seberang sana.

"Kerja apa mas? saya gak punya pengalaman lain mas."

"Gak papa mas, saya cuma butuh orang yang bisa bantu saya buka dan ngurus cafe mama saya mas." Ares bisa mendengar suara ribut disana, sepertinya Rigel sedang berbicara dengan seseorang.

"Mas Ares mau buka cafenya lagi?"

"Iya mas, dan dari pesen mama, saya disuruh hubungi mas."

"Saya mau mas, tapi berdua bisa gak mas? saya gak bisa kerja tanpa Rion soalnya."

"Bisa mas, justru itu tujuan saya." Senyum Ares semakin lebar, ini adalah pertama kalinya Area kembali tersenyum lebar.

"Kalau gitu bisa kita bicarain lebih lanjut besok ya mas, biar saya yang kerumah mas Rigel."

"Gak usah mas gak papa, biar saya sama Rion yang ketempat mas."

"Gak usah mas, biar saya yang ketempat mas Rigel, sekalian saya ngafalin daerah sini." Ares mendengar suara tawa disana.

"Ya udah mas, saya full ada dikosan kok, nanti saya kirim alamatnya ya."

"Makasih ya mas Rigel, udah mau bantu saya."

"Harusnya saya yang makasih mas, karena diberi kepercayaan buat bantu mas."

"Semoga betah kerja sama saya ya mas, sampe ketemu besok."

"Hahaha iya mas."

Ares mengakhiri panggilannya, dia sudah sedikit lega, dia yakin dua orang pilihan mamanya itu pasti sangat bisa dipercaya. Ares merebahkan tubuhnya diranjang, tubuh ya sudah sakit semua, dia perlu istirahat agar bisa segar besok pagi.

"Selamat malam ma, doain Area terus ya ma."
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Rumah BintangWhere stories live. Discover now