Ruangan apa ini?

796 174 0
                                    


.
.
.
.
.
Ares tertawa miris saat membaca kertas ditangannya. Rasanya sama seperti satu tahun lalu, saat pertama kali dia menerima diganosa penyakit itu. Ekspresi Ares membuat Azka khawatir, dokter itu tau ini pasti menyakiti batin Ares.

"Res, kita masih bisa coba jalan lain." Ares hanya diam saat Azka mengatakan itu.

"Aku mau resep obat ku." Azka menghela nafas, dia tidak ingin melihat Ares menyerah sekarang.

"Res." Ares menatap tajam kearah Azka.

"Aku mau resep obat ku mas, aku mau pulang!" Azka tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan  apa yang Ares minta. Azka tau laki-laki mungil itu sedang tidak bisa diajak bicara apa lagi dibujuk.

"Ingat dosisnya Res, dua butir setiap minum, sehari tiga kali, atau saat kamu kambuh." Ares berdehem.

"Aku tau, udah satu tahun aku minum obat ini." Ares sudah beranjak dari hadapan Azka, tapi belum sempat keluar pertanyaan Azka justru membuatnya berhenti.

"Kamu pulang ke rumah papa mu kan?" Ares menggeleng.

"Aku pulang ke pare, dan inget mas, jangan kasih tau apapun ke papa!" Ares langsung keluar dari ruangan Azka, menyisakan Azka yang hanya bisa menatap sendu kearah pintu.

"Mbak Amel kenapa Ares harus nurunin sifat keras kepalanya mas Johan sih."
.
.
.
.
.
Ares termenung dalam taxi yang ditumpanginya untuk menuju pare. Ares memang langsung menyetop sebuah taxi begitu keluar dari rumah sakit.

Satu minggu berada dirumah sakit, membuat Ares jenuh, apa lagi tubuhnya yang terasa sangat sakit setelah kemoterapi beberapa hari lalu. Ares menghela nafasnya, dosis obatnya semakin tinggi dan itu membuat Ares berdecak kesal. Jika bukan karena dia sudah terlanjur mengucap janji pada Rius juga Alden untuk berjuang, tentu saja Ares akan lebih memilih menyerah dan menyusul mamanya, bukan kah itu tujuannya tinggal di pare.

Tapi ternyata semua jauh dari rencana awalnya.

Ares kadang ingin tertawa, kenapa semesta justru mempertemukan dia dengan ketujuh pemuda itu. Mereka seolah dikirim untuk menjadi alasan Ares bertahan dan berjuang. Melupakan niat awalnya pergi ke pare yang hanya untuk menuruti permintaan terakhir sang mama untuk pulang.

Ares tidak pernah setakut dan sekhawatir ini tentang kematian. Ares yang dulu akan selalu menjawab dengan ringan bahwa dia sama sekali tidak takut dengan kematian dan justru dengan senang menyongsong sendiri kematian itu.

Ares sudah beberapa kali mengakhiri dirinya sendiri dulu setelah kematian sang mama, tapi ternyata tuhan masih ingin nyawanya berada ditubuh mungilnya. Beberapa kali mengalami overdosis karena meminum obat berlebihan, tapi nyawanya masih selamat. Kalau kata Azka, Ares punya nyawa lebih banyak dari kucing.

Tapi lihat sekarang!
Ares bahkan terlalu takut memikirkan kematian, dia terlalu takut meninggalkan ketujuh pemuda yang menemaninya selama sepuluh bulan ini. Terutama Alta, ntahlah, Ares sangat takut jika suatu saat dia harus pergi meninggalkan semuanya. Ares terlalu takut jika melihat tangis adik-adiknya. Ares terlalu menyayangi mereka, mereka masuk terlalu dalam kedalam kehidupan Ares yang sebenarnya berantakan.

Mulai dari Igel dan Rion, yang awalnya Ares tawari kembali bekerja dicafe karena pesan sang mama, lalu Alden, pemuda polos yang kalem itu sukses merebut perhatian Ares saat pertama kali melihatnya hingga tanpa pikir panjang Ares menawarkan pekerjaan dan tempat tinggal saat laki-laki tinggi itu membutuhkannya. Hadar dan Rius, dua orang sepupu yang melamar pekerjaan padanya saat mereka baru saja menginjak pare, ditambah Leo yang datang ke cafe karena rekomendasi dari Igel saat laki-laki itu dipecat karena kesalahan yang tidak dia perbuat. Terakhir Alta, ntah bagaimana Ares sendiri yang membawa kerumah malam itu, saat laki-laki cantik itu pingsan, diawali sebuah rasa empati dan keinginan menolong yang justru berubah menjadi rasa yang belum pernah Ares rasakan sebelumnya, cinta.

Rumah BintangWhere stories live. Discover now