Oprasi

1K 182 8
                                    


.
.
.
.
.
Sudah dua minggu sejak Ares dilarikan kerumah sakit, keadaan nya sudah semakin stabil, tapi ntah kenapa laki-laki mungil itu belum juga membuka matanya. Ares sudah dipindahkan ke surabaya tiga hari lalu, keadaannya yang stabil membuat laki-laki sudah diperbolehkan keluar dari ruang icu dan dipindah kekamar rawat.

Rumah bintang sepi, karena seluruh penghuninya ikut menemani Ares ke surabaya, bahkan orang tua Alta, ayah dan papa Igel dan Rion juga nenek Alden masih betah ikut menunggu Ares.

Jadwal oprasi sudah ditentukan, satu minggu dari sekarang, dengan Johan sebagai pendonor sumsum tulang belakang. Azka cukup bersyukur karena sumsum tulang belakang Johan memiliki kecocokan tinggi dengan Ares, yaitu 87%.

Johan terpukul saat Azka menyeretnya kerumah sakit untuk menjalani tes, dia sempat mengamuk dan tidak ingin mendonorkan apapun, tapi begitu nama Ares disebut, Johan terdiam. Dia menyesal karena tidak mengetahui itu sejak awal, dan lagi dia menjadi penyebab putra bungsunya itu menyerah.

"Kenapa gak masuk?" Johan melirik seorang pria yang duduk disebelahnya. Johan menggeleng.

"Ada anak-anak itu didalam." pria itu menatap kearah Johan, sebenarnya dia kasihan melihat Johan seperti ini tapi dia juga kesal.

"Aku gak nyangka, aku punya temen yang begonya gak ketulungan." Johan diam, apa yang dikatakan pria itu benar adanya. Dia memang bodoh.

"Untung aja kemarin mereka gak bunuh kamu." Johan tersenyum kecil. Dia ingat saat pertama kali Ares dipindahkan ke surabaya, dan Johan menjenguk putranya itu, dia disambut dengan bogeman berkali-kali oleh seseorang, juga tamparan dan makian.

Johan terima tentu saja, terlebih mereka adalah sahabat Amel, mendiang mantan istrinya. Dia sudah menyakiti wanita sebaik Amel dengan berselingkuh hingga menikahi ana, membela ana meskipun wanita itu sudah membuat putra sulungnya meninggal dan membuat putra bungsunya mengalami trauma.

"Mereka keliatannya sayang banget sama Ares, Jar." pria itu Fajar, ayah Leo, hanya menghela nafas. Tentu saja mereka menyayangi Ares, mereka pasti seperti melihat Amel dalam diri Ares. Dia saja yang baru beberapa kali bertemu Ares saat dewasa sudah menyayangi pemuda mungil itu, sama seperti dia menyayangi Leo.

"Iya lah, kamu tau sendiri gimana usaha mereka buat nyari Amel dan anaknya, dan bodohnya kamu yang nyakitin Amel."
.
.
.
.
.
Mata tajam dengan netra hitam itu akhirnya terbuka, mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk menyapa netranya. Dia menghela nafas, langit-langit berwarna putih, bau obat-obatan yang sangat menusuk sudah cukup memberitahu bahwa dia berada dirumah sakit saat ini. Dia menolehkan kepalanya saat merasa genggaman ditangan kanannya yang terbebas dari infus. Dia melihat pemuda dengan rambut hitam sedang tertidur dan menggenggam tangannya.

"Alta." dia balas menggenggam tangan itu, mencoba membangunkan pemuda cantik yang tertidur, sadar diri jika suaranya hanya terdengar seperti bisikan.

"Alta." genggamannya berhasil mengusik tidur si manis, membuat si manis menegakan kepalanya dan menatap kearah sang pelaku yang membuatnya bangun. Mata bulat itu berkaca-kaca siap menurunkan hujan diwajahnya.

"Ares." ucapan Alta berhasil membuat senyum Ares mengembang, meskipun tipis.

"Jangan nangis." Alta justru menangis saat mendengar suara Ares, rasanya seperti mimpi saat dia melihat wajah itu kembali mengulas senyum.

Isakan Alta membangunkan mereka yang tertidur disofa, mereka panik saat melihat Alta menangis sambil menggenggam tangan Ares.

"Mas ada apa?"

"Mas Alta kenapa?"

"Mas?"

Pertanyaan demi pertanyaan terlontar seiring dengan langkah mereka yang mendekati Alta. Mata mereka mebulat tidak percaya saat melihat senyum Area menyambut mereka.

Rumah BintangWhere stories live. Discover now