Harus di Pare!

841 194 15
                                    


.
.
.
.
.
Pagi ini suasana rumah nenek Alden tidak seramai biasanya, itu karena Hadar dan Rius harus ikut sang nenek kembali ke jakarta. Mereka akan mengurus surat-surat yang mereka perlukan untuk melakukan pernikahan.

Alden terus saja cemberut saat Igel mengomel karena tau jika dia mendiamkan Ares. Alden sendiri baru saja mengatakan yang sebenarnya.

"Kamu ini gimana sih Den, kenapa diemin bli Ares?" Alden menunduk, membuat Alta yang melihat itu merasa kasian.

"Gel udah." Igel menghela nafas.

"Iya mas."

"Maaf Gel." Igel mengangguk, dia menepuk pundak Alden.

"Iya udah gak papa, maaf juga udah ngomel ke kamu." Alden tersenyum, tapi matanya menatap lekat pada Igel.

"A' Ares teh pasti udah sampe surabaya kan?" semua yang mendengar pertanyaan Alden sontak mengangguk.

"Harusnya sih udah, apa lagi ini udah siang." Alta bergumam, membuat yang lain sibuk memeriksa hp nya.

"Tapi kenapa mas Ares gak kasih kabar ya?" Leo menatap Igel yang dibalas gelengan oleh Igel.

"Aku dari tadi coba telpon Ares tapi gak diangkat, bahkan nomornya gak aktif." ucapan Alta membuat semua terdiam.

"Bli Ares kenapa sih?"
.
.
.
.
.
Azka terus saja melihat hp Ares yang ada ditangannya dengan posisi mati, dia juga menatap Ares yang masih setia tertidur di ranjang kamar rawatnya. Ares sengaja meminta Azka untuk membawa hp nya, dan mematikan benda itu jika salah satu adik-adiknya terus menghubunginya.

"Harusnya kan kamu kasih tau mereka Res, lebih gampang buat kamu kan?" Azka bergumam lirih sambil menatap sendu wajah pucat Ares.

Subuh tadi Ares menghubunginya dan minta dijemput di stasiun. Hal itu sempat membuat Azka kalang kabut, karena dia mendengar nafas Ares yang memburu. Benar saja Azka melihat Ares kesakitan saat laki-laki itu sampai distasiun. Ares tidak membawa obatnya, dia hanya mengatakan obat cadangannya hilang.

"Mas Azka?" Azka tersentak kaget saat suara Ares terdengar ditelinga nya.

"Udah bangun kamu?" Ares menatap Azka tajam.

"Belum bangun mas, ini masih tidur." Azka berdecih pelan, kadang Ares bisa sangat menjengkelkan untuknya.

"Mana ada orang tidur jawab sambil sewot." Ares tertawa kecil, dia bahkan melupakan bahwa di tangannya tertancap infus.

"Nah itu mas tau, pake nanya udah bangun segala." Azka tersenyum saat melihat tawa Ares.

"Res, kasih tau mas Johan ya?" Ares langsung terdiam saat Azka menyebut nama ayahnya.

"Gak usah, buat apa kasih tau papa?" Azka menghela nafas, dia memilih duduk dikursi samping ranjang.

"Kita butuh cek sum-sum tulang belakang mas Johan, siapa tau cocok buat kamu." Ares menggeleng.

"Gak usah mas, lagian aku masih bisa kemo kan?" Azka mengangguk.

"Memang masih bisa Res, tapi tetap kita harus jaga-jaga buat itu." Ares kembali terdiam, matanya menerawang mengira-ngira bagaimana respon sang ayah jika tau hal itu.

"Gak mas, jangan kasih tau papa, aku gak mau papa tau." Azka berdecak kesal, kadang dia meruntuki sifat keras kepala Ares yang sebelah dua belas dengan sang ayah.

"Tapi Res-"

"Kalau mas kasih tau papa, aku gak bakal lakuin pengobatan." Azka terdiam, Ares selalu bisa mengancamnya agar diam.

Bahkan dulu saat pertama kali dia menemukan Ares pingsan dikamarnya dengan darah yang terus keluar dari hidung bangirnya, laki-laki mungil itu bisa membuat dia tutup mulut. Sampai akhirnya diagnosa itu keluar, cukup memukul bahkan untuk Ares sendiri, terutama dia baru saja kehilangan ibunya karena penyakit yang sama.

Rumah BintangWhere stories live. Discover now