1. Anger

8.8K 1K 147
                                    

Kota Seoul masih tampak ramai walau jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kota dengan kepadatan yang tiada henti di setiap waktu itu, membuatnya merasa lelah hanya dengan melihat sekitar.

Memilih pindah ke kota itu setahun belakangan cukup meninggalkan rasa sesal yang keantara. Ia tak suka keramaian. Ia lebih suka dengan suasana yang tenang.

Tapi sang ayah terus memaksanya untuk pindah. Ayahnya bilang, mereka bisa mendapatkan uang lebih banyak di kota metropolitan itu. Berbeda dengan tempat tinggal dia sebelumnya, yang mungkin gedung bertingkat bisa di hitung oleh jari.

Ayahnya memang benar. Di kota Seoul, ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Bahkan selama satu tahun belakangan, ia melakukan dua pekerjaan paruh waktu sekaligus.

Jika masih di Gyeongju, tepat tinggalnya dulu. Ia tak bisa melakukannya. Karena mayoritas disana adalah petani, ia mungkin hanya bisa bekerja di pasar sesekali.

Menghela napas berat, gadis dengan rambut panjang hitam itu mulai berdiri ketika bus yang ia tunggu sedari tadi datang.

Ia memasuki bus yang tampak hanya memiliki beberapa penumpang itu, lalu memilih duduk di bangku paling belakang. Memandangi jalanan Seoul yang padat akan kendaraan.

Berada dalam keheningan, kepalanya mulai terisi penuh dengan pemikiran menganai hidupnya sendiri. Perlahan tapi pasti, kepala itu kian sesak dengan hal-hal yang cukup menyecewakan.

Di usianya yang berada pada angka 23 tahun, ia merasa belum memiliki pencapaian apa-apa di hidupnya saat orang lain sudah memiliki begitu banyak.

Tidak pernah sekali pun dia merasa bahagia dengan pilihannya, karena setiap saat dipikirannya hanya terisi cara untuk mendapatkan banyak uang agar ayahnya senang.

Berbicara tentang ayahnya, gadis itu segera merogoh tas selempangannya. Membuka sebuah dompet, dan menghela napas berat untuk kesekian kalinya.

Di dalam dompet itu hanya ada beberapa lembar uang dengan pecahan kecil. Ayahnya pasti akan marah jika ia tak membawa uang banyak hari ini.

Mendadak hatinya bergemuruh takut. Apalagi ketika bus itu sudah sampai pada halte tempatnya turun. Maka, ia meninggalkan bus itu dengan rasa takut yang masih ia bawa.

Seakan belum cukup rasa lelahnya bekerja seharian penuh, ia masih harus berjalan melewati gang-gang kecil untuk sampai di tempat tinggalnya.

Menarik napasnya yang terasa sesak, Ia hendak meraih gagang pintu rumah sewaannya bersama sang ayah itu. Namun belum sempat mencapainya, pintu itu terbuka dengan kasar.

"Kau baru pulang? Mana uangnya?" tangan lelaki yang berstatus sebagai ayahnya itu menengadah.

Dari aroma alkohol yang menyengat, ayahnya pasti sedang mabuk. Itu memang rutinitas sang ayah setiap malam. Bahkan biasanya sang ayah pulang ke rumah saat pagi menjelang.

"Aku belum menerima gajiku." Jawaban datar itu nyatanya membuat Sok Seokgu murka.

"Ya! Son Jisoo! Kau bercanda?" Tanpa Jisoo duga, ayahnya menarik tas yang sedang ia gunakan. Mengeluarkan semua barangnya hingga Son Seokgu tertarik pada dompet lusuhnya.

"Appa, jangan. Aku hanya memiliki itu. Aku ingin membeli---"

"Diam!" Seokgu mendorong tubuh Jisoo hingga tersungkur di lantai rumah kumuh mereka.

"Ini terlalu sedikit. Kau harus memberikanku lebih banyak besok." Seolgu pergi, dengan membanting pintu rumah.

Kejadian seperti ini, adalah makanan sehari-hari untuk Jisoo. Maka dari itu, dia berusaha keras agar memberikan uang yang ayahnya butuhkan setiap malam. Hanya saja, gajinya hari ini belum turun. Ia harus merelakan uang simpanannya direnggut.

HomeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora