10. Incident

4K 814 158
                                    

Keputusannya sudah tepat. Memilih hanya menjalani satu pekerjaan membuat Jisoo kini lebih leluasa memiliki waktu luang. Selain tak merasa kelelahan, ia juga bisa mendapat gaji dua kali lipat dari biasanya.

Hari ini, adalah hari kedua dia bekerja sebagai waitress di Coffee Shop Lisa. Jika kemarin ia mendapatkan Shift 2, kali ini ia mendapatkan Shift pagi yang artinya Jisoo harus masuk pukul tujuh pagi, dan pulang Pukul tiga sore.

Tidak seperti kemarin, hari rabu ini Jisoo sama sekali tidak mendapati Lisa datang ke Coffee Shop. Padahal kemarin gadis itu berada di meja Barista sampai pukul tujuh malam.

Jisoo sendiri tidak bertanya pada rekannya yang lain. Selain ia malas berinteraksi, ia juga takut dipandang ingin tahu urusan orang lain.

Memasuki rumah sewaan yang kecil itu, Jisoo segera meletakkan tasnya di dalam kamar. Setelah itu dia menuju dapur yang peralatannya tidak terlalu lengkap. Mengambil air mineral dan meminumnya hingga setengah gelas.

Rumah itu sepi, tidak ada siapa pun yang bisa Jisoo ajak bicara. Sang ayah tak akan pulang se sore ini. Sekarang, ayahnya pasti dengan berkutat dengan dunia perjudiannya.

Memandangi setiap sudut tempat tinggalnya setahun terakhir itu, bukannya merasa hangat ia justru merasa sangat hampa.

Seharusnya rumah adalah tempatnya pulang di saat lelah. Tempatnya mengeluarkan keluh kesah atas pekerjaannya. Serta tempat seseorang yang menyambut kepulangannya dengan hangat.

Selama ini, Jisoo tidak pernah merasa memiliki rumah sesungguhnya. Atau lebih tepatnya saat sang ibu meninggal, ia sudah tidak punya rumah lagi.

Rasa sakit dan lelah ia berusaha tahan sendiri. Karena dia pun tak tahu harus mengeluh pada siapa. Tak ada yang bisa mendengarkannya, atau sekedar memberikannya kekuatan baru.

Di saat seperti ini Jisoo justru berpikir, apakah keluarga kandungnya saat ini memiliki rumah yang hangat? Apakah sedetik saja mereka pernah memikirkan Jisoo?

"Tidak mungkin mereka memikirkan anak yang sudah di buang." Jisoo bergumam. Hendak masuk ke dalam kamar guna beristirahat sejenak.

Namun getaran ponsel di sakunya membuat Jisoo mengurungkan niat itu. Dia mengerut tatkala nomor ponsel yang menghubunginya tidak bernana. Selain itu, dari nomornya Jisoo bisa nemebak jika itu adalah nomor instansi.

"Dengan keluarga Son Seokgu?" Suara wanita itu sangat lembut di dengar. Seakan ia sudah melakukan banyak pelatihan hanya untuk berbicara.

"Nde. Saya anaknya." Tidak seperti Jisoo, yang menjawab pertanyaan itu dengan nada datar.

"Saudara Som Seokgu telah terlibat perkelahian di daerah Gangnam-gu. Saat ini dia sedang dirawat di Espace International Hospital karena memiliki beberapa luka. Anda di harapkan hadir untuk menjadi wali pasien." Mendengar pemberitahuan itu, kepala Jisoo mendadak berdenyut.

"Aku segera kesana." Sambungan telepon Jisoo putus.

Meraih kembali tasnya, Jisoo keluar dari rumah. Ia berharap ayahnya tak terluka parah. Selain itu, ia tak memiliki banyak uang untuk membayar perawatan di rumah sakit.

Walaupun kemarin dengan baik hati Lisa menyerahkan gaji bulanannya terlebih dahulu karena Jisoo meminta, uang itu pasti tak akan cukup jika seandainya sang ayah di rawat terlalu lama.

Pergi menggunakan sebuah bus, Jisoo membutuhkan waktu setengah jam lebih untuk sampai. Tidak langsung masuk ke dalam, Jisoo berdiri dengan kaki lemas di pelataran rumah sakit itu.

Tidak seperti dugaannya, sang ayah ternyata dilarikan ke rumah sakit mewah. Kenapa Jisoo tidak sadar sejak resepsionis mengatakan nama rumah sakitnya tadi? Jelas sekali ini adalah rumah sakit bertaraf internasional.

HomeOnde histórias criam vida. Descubra agora