14. Fact

3.7K 829 163
                                    

Jisoo sadar, bahwa kemarin dia belum berterima kasih pada Lisa. Atau, dia tidak pernah berterima kasih dengan benar-benar tulus pada gadis itu karena telah banyak menolongnya? Bahkan saat di Gyeongju 1 tahun lalu bersama dua kakaknya.

Maka pagi ini, dengan senyum tipis Jisoo memandangi bungkusan berisi bungeoppang di tangannya. Dari Chaeyoung, dia tahu Lisa sangat menyukai bungeoppang. Ia akan memberikan Lisa makanan favoritenya itu.

Membuka pintu Coffee Shop itu, senyum Jisoo menghilang karena orang yang ia cari tidak ada. Disana hanya ada Nayeon yang sedang menyusun beberapa slice cake di etalase.

Biasanya, Lisa lah yang pertama datang ke Coffee Shop itu. Apakah dia sedang ada di ruangan? Kalau begitu Jisoo akan menghampirinya.

"Kau ingin menemui Sajangnim? Dia tidak datang hari ini." Ucapan Nayeon membuat Jisoo mengurungkan niatnya menyentuh knop pintu ruangan Lisa.

"Dia memiliki libur dua kali seminggu. Rabu dan sabtu. Ini hari sabtu. Dia tidak akan datang." Jisoo mengangguk paham.

Benar juga. Rabu lalu Lisa tidak datang ke Coffee Shop. Jisoo pikir ada alasan lain. Tapi ternyata gadis itu memang libur.

Menunduk, Jisoo memandang bungkusan bungeoppangnya dengan kecewa. Padahal dia sudah berusaha menyingkirkan rasa gengsinya untuk berterima kasih pada Lisa tentang banyak hal.

Ponsel Jisoo tiba-tiba berdering, memaksa Jisoo untuk melupakan Lisa sejenak. Siapa gerangan yang meneleponnya pagi-pagi sekali?

Nomor tidak bernama. Tentu saja. Jisoo hanya memiliki nomor sang ayah dan nomor Lisa di ponselnya. Tapi seingat gadis itu, dia tak pernah memberikan nomor pribadinya kepada siapa pun.

Dengan perasaan ragu, Jisoo menerima panggilan itu. Ia tidak langsung bersuara, melainkan menunggu sosok diseberang sana mendahuluinya.

"Son Jisoo?" Itu suara wanita. Tapi terdengar serak dan berat.

"Nde. Dengan siapa aku bicara?"

Merasa sudah sepatutnya dia menyahut, Jisoo mulai menanyakan sispa orang itu. Semoga saja ini bukan penipuan yang sering terjadi belakangan. Jika itu memang penipu, Jisoo akan langsung mengakui jika dia sangat miskin dan tidak sepatutnya ditipu.

"Aku... Kang Miran." Dahi Jisoo mengerut. Seumur hidup ia tak pernah mendengar nama itu. Sangat asing di telinganya.

"Aku adalah pemilik panti asuhan tempatmu tinggal dulu."

Tanpa sadar, Jisoo meremas ponsel di genggamannya. Ia melupakan suatu hal yang penting. Kemarin, ketika ayahnya mabuk dia berkata jika Jisoo dibeli. Apa maksudnya? Kenapa buka kata adopsi yang ayahnya gunakan?

"Aku ingin bicara beberapa hal. Bisakah mau menemuiku?" Jisoo seharusnya mencari tahu hal itu. Ia yakin ayahnya bukan salah bicara.

"Aku selesai bekerja jam tiga sore. Kirimkan alamatnya melalui pesan." Jisoo meyakini, jika keputusannya ini sudah benar.

Semula, dia tak peduli dengan jati dirinya. Dia tak peduli dari mana asalnya. Namun setelah kalimat itu terlontar dari ayahnya, Jisoo merasa begitu marah.

Sebenarnya apa yang terjadi ketika dia masih bayi? Apa benar dia telah diperjual belikan? Dan... Apa yang menjualnya adalah orang tuanya sendiri? Jika benar, maka Jisoo akan memohon pada Tuhan untuk bisa bertemu dengan mereka walau hanya sekali. Ia ingin menumpahkan semua amarahnya yang mulai menggebu-gebu.

..........

Jisoo menepati ucapannya. Pukul 3 sore ketika jam kerjanya sudah berakhir, gadis itu pergi menaiki sebuah bus yang akan membawanya ke tempat dimana Kang Miran berada.

HomeΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα