9. Interview

3.8K 782 124
                                    

Suasana di dalam ruangan itu sungguh senyap untuk beberapa saat. Padahal di dalamnya terdapat dua orang yang duduk saling berhadapan. Lisa yang ada di kursi kerjanya, sedangkan Jisoo yang kini duduk di hadapan gadis itu.

Sedikit pun, Lisa tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Bagaimana bisa dari 10 juta jiwa di Seoul, sosok inilah yang harus Lisa interview untuk menjadi karyawan barunya?

Lisa sendiri bahkan sudah mengatakan melalui pesan, bahwa ia berharap tak pernah bertemu dengan sosok itu lagi. Tapi baru dua hari berlalu, ia sudah dipertemukan dengan sosok itu lagi.

Tapi bukankah ia harus profesional? Lisa sangat menbutuhkan pegawai baru karena Coffee Shopnya ini sudah kualahan ketika pelanggan datang.

Mulai membuka lembaran surat lamaran Jisoo, ia membacanya sekilas. Dari pengalaman, Jisoo cukup memiliki banyak. Hanya saja, semua itu tak pernah bertahan lama.

"Kau punya asma?" Untuk apa sebenarnya Lisa bertanya? Apa ia lupa bahwa yang membawa Jisoo ke rumah sakit ketika kambuh adalah dirinya?

Lisa sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Ia sudah tahu. Hanya saja Lisa merasa cukup terkejut jika Jisoo mencantumkan riwayat penyakitnya itu di dalam curriculum vitae. Bukankah jika orang lain, pasti akan menolak Jisoo sebagai calon pegawai baru?

"Aku bisa bekerja dengan baik. Asmaku tidak berat." Lisa yang mendengar itu tidak yakin.

Dokter yang memeriksa Jisoo bilang, jika Jisoo memiliki penyakit itu sejak bayi. Pasti berat menanggung beban itu seumur hidupnya.

Ah, kenapa sisi kemanusiaan Lisa harus muncul sekarang? Ia tidak pernah seperti ini. Lisa selalu berpikir logis mengenai apa pun. Namun ketika berhadapan dengan Jisoo, rasa iba muncul berkali-kali lipat.

Membayangkan bagaimana hidup Jisoo yang berat. Walau tidak banyak tahu, tapi Lisa menduga jika Jisoo telah menjadi tulang punggung keluarganya. Terdengar dari jawaban ayah Jisoo ketika Lisa menghubunginya tempo hari.

"Bekerjalah mulai besok." Lihatlah, bahkan bibir itu berucap tanpa mempertimbangkan apa pun.

"Apa kau kasihan padaku---"

"Aku tidak peduli kau memiliki penyakit apa pun. Aku menerimamu karena membutuhkan pegawai secepatnya." Lisa kemudian memasukkan beberapa lembar surat lamaran Jisoo ke dalam laci meja.

"Pastikan penyakitmu tidak kambuh saat bekerja bersamaku. Aku tak mau repot dengan itu."

Selama ini, Jisoo sudah begitu banyak menerima kalimat kasar dari berbagai jenis atasan. Bahkan ayahnya sendiri. Tapi mengapa kali ini perasaannya berbeda. Mengapa rasanya sakit?

Apakah ia berharap Lisa khawatir padanya? Karena sungguh, jawaban Lisa bukanlah sesuatu yang ingin Jisoo dengar. Ia tahu, betapa merepotkannya dia. Tapi mendengarnya dari mulut gadis berponi tipis itu terasa berbeda. Ia... Kecewa?

"Keluarlah. Urusan kita sudah selesai hari ini." Lisa berujar masih dengan mempertahankan suara datarnya.

Menuruti Lisa, gadis berambut hitam panjang itu mulai berdiri. Dia membungkuk sedikit pada Lisa, dan berlalu keluar dari ruangan atasan barunya itu.

Sampai di pintu masuk, ia tak sengaja berpapasan dengan seseorang. Gadis itu terus memandangi punggungnya, seperti berusaha mengingat sesuatu.

"Aku seperti pernah melihat gadis itu," gumam Jennie yang masih berdiri di depan pintu masuk Coffee Shop adiknya.

Lama Jennie berkutat dengan isi kepalanya, barulah ketika beberapa orang menegurnya yang menghalangi jalan membuat Jennie terpaksa menghentikan usahanya untuk mengingat gadis itu.

HomeWhere stories live. Discover now