37. Nightmare

3.6K 741 82
                                    

Suara rintik hujan di musim gugur itu mulai mengusik telinganya. Namun Jisoo sama sekali tak mau membuka mata. Bukan karena mengantuk. Tapi ia tak mau melihat seseorang yang kini berjalan menghampiri ranjangnya.

Gadis itu sudah mendapatkan kesadaran penuh setelah tiga hari berada di ruang perawatan. Sampai saat ini, Jisoo tidak percaya bahwa dirinya masih hidup. Ia pikir, saat itu ia akan mati perlahan karena rasanya bernapas sangat lah sakit.

Mungkin saja itu akan terjadi saat dirinya bukanlah Jisoo Lee seperti sekarang. Karena tidak dipungkiri, uang milik keluarga Lee juga turut andil dalam membuatnya hidup saat ini. Jika saja dia masihlah Son Jisoo, sudah dilastikan ia tak mungkin berada disini.

"Unnie..." Lisa berusaha menggenggam tangan Jisoo, namun yang membuatnya terkejut adalah Jisoo yang melepaskan genggaman itu. Memilih menyembunyikan tanganya ke dalam selimut.

Memandangi wajah Jisoo yang sebagian masih ditutupi oleh masker oksigen, Lisa tersenyum masam. Kakaknya itu marah pada Lisa. Jelas saja. Jika Lisa berada di posisi Jisoo pun dia akan marah.

".... Selamat pagi." Lisa tetap melanjutkan kalimatnya.

Dia mulai berjalan ke arah meja nakas. Mengganti bunga mawar putih yang sudah hampir layu dengan bunga serupa di tangannya.

Terhitung sudah tujuh hari Jisoo berada di ruang perawatan VVIP itu. Selama itu pula Lisa rutin mengganti bunga di meja nakas Jisoo dengan yang baru.

Sejak tersadar sepenuhnya tiga hari lalu, Lisa merasa Jisoo berusaha menghindarinya. Ia tak pernah menatap Lisa yang ada di dekatnya. Sungguh berusaha untuk tak terjebak dalam pandangan hazel itu.

"Udaranya sangat dingin di luar." Sebenarnya, sudah berapa lama Jisoo tidak mendengar suara itu? Sesungguhnya Jisoo sangat rindu. Tapi dia tak mau mendekat.

Perlahan Jisoo mulai membuka matanya ketika merasa seseorang sedang memakaian kaus kaki pada kaki dinginnya. Tak lama, ia bisa melihat Lisa yang mulai memijat kakinya dengan lembut.

Jisoo berusaha menarik napasnya yang berat, lalu memandang kearah lain. Hingga akhirnya dia hanya terpaku pada rintik hujan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya.

Menagapa Lisa harus perhatian seperti ini? Apakah adiknya itu sedang merasa bersalah? Jika iya, Jisoo sungguh tidak membutuhkannya. Karena dia sendiri pun sama sekali tidak menyalahkan Lisa atas apa yang terjadi.

Sesungguhnya, mendiami Lisa seperti ini bukanlah bentuk amarah dari Jisoo. Ia sama sekali tidak marah. Karena saat itu, dialah yang terlalu berharap.

Jisoo hanya sedang berusaha mengerti Lisa, melalui ucapan Sungkyung ketika hari perayaan ulang tahun kembar Lee saat itu.

Setelah apa yang menimpanya ini, Jisoo mulai menyadari satu hal. Sangat benar bahwa nyatanya Jisoo tak akan bisa membahagiakan Lisa.

Adiknya itu pasti sangat keberatan memiliki kakak yang lemah dan penyakitan. Maka dari itu, Lisa lebih memilih menghabiskan waktu bersama Sungkyung dibandingkan dirinya.

Jisoo hanya berusaha tahu diri. Dia tidak ingin Lisa kerepotan karenanya. Seperti apa yang diucapkan Sungkyung, Lisa harus mengisi masa mudanya dengan hal menyenangkan. Dibandingkan harus mengurus kakak penyakitan seperti Jisoo.

Dia bukan mengacuhkan Lisa. Ini adalah bentuk rasa kasih sayang Jisoo pada Lisa. Dia harus menbuat Lisa terbiasa tanpanya.

"Kau kemari, Lisa-ya? Bukankah kau akan pergi bersama Jennie?" Hyunjin muncul dari balik pintu kamar mandi. Membawa sebuah wadah dan handuk kecil di pundaknya.

"Hanya mampir sebentar." Mendengar jawaban anak bungsunya, Hyunjin mengangguk.

"Sudah makan? Jennie membuatkan makanan untukmu kan tadi?" Hyunjin bertanya, sembari membuka selimut yang semula menutupi tubuh Jisoo.

HomeWhere stories live. Discover now