54. Apology

4.4K 706 127
                                    

Kedua mata itu terbuka. Meringis pelan ketika merasa beberapa bagian tubuhnya sakit. Jisoo masih duduk di lantai itu. Bersandar pada meja seperti keadaan beberapa jam lalu. Apakah dia tertidur? Atau tidak sadarkan diri?

Jisoo tidak ingin memikirkan itu terlalu jauh. Dia berusaha bangkit. Baru saja berdiri tegak, Jisoo kembali merasa sesak.

Dia berjalan terseok ke arah ranjang, lalu duduk disana dan kembali menggunakan inhaler. Sedangkan sebelah tangannya naik untuk meremas baju bagian dadanya. Tidak hanya sesak. Disana juga terasa sakit.

Tok! Tok!

"Unnie, bolehkan aku masuk?" Itu suara Jennie.

Berusaha mengatur napasnya, Jisoo dengan cepat menyembunyikan inhalernya di bawah bantal. Lalu merapikan penampilannya yang sedikit berantakan.

Belum sempat ia menyahut, pintu itu terbuka lebih dulu. Sesuai dugaan Jisoo, bahwa kini Jennie tampak sangat kacau. Matanya bengkak karena terlalu lama menangis. Jisoo merasa pilihannya tepat untuk tidak memperlihatkan rasa sakitnya pada Jennie.

"Aku minta maaf. Aku memang tidak bisa mengendalikan emosiku dengan baik." Saat ini, Jennie tidak tahu maaf itu keluar atas permitaan Lisa atau keinginannya sendiri.

Tapi ada satu hal yang sangat ia pahami sekarang.
"Ternyata... Selama ini aku belum dewasa."

Dibandingkan kedua adiknya, Jennie sadar jika dia belum bisa berpikir secara dewasa. Dia masih sangat egois. Dia masih akan menyalahkan orang lain tentang apa yang terjadi. Dan dia masih bisa membenci orang dengan mudah.

"Aku pun bersalah. Aku yang membuat---"

"Unnie, apa kau tahu kedatanganku kemari atas permintaan Lisa?" Kedua mata Jennie mulai berkaca-kaca.

Perasaannya saat ini sedang hancur. Ada banyak hal yang menjadi penyebabnya. Rasa sesal karena ucapannya pada Jisoo, rasa marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol diri, serta rasa sakit luar biasa karena mendengar sepenggal kalimat dari Lisa.

"Awalnya, aku masih terus menyalahkanmu. Sampai dia berkata..." Jennie memalingkan wajahnya ketika air mata berhasil lolos.

"Dia bilang, dia tidak ingin melihat kita bertengkar di sisa waktunya."

Jisoo tertegun. Mengapa Lisa harus mengatakan kalimat seperti itu? Apa Lisa akan mengingkari janjinya untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama Jisoo? Kalimat itu, seakan menandakan Lisa sudah menyerah.

"Ini salahku. Jika saja aku tidak keras kepala dan langsung memohon maaf padamu, kalimat seperti itu tak akan keluar." Jennie terkekeh. Namun detik berikutnya dua justru terisak denga keras.

Jisoo yang melihat itu berusaha bangkit walau tubuhnya sangat lemas. Dia mendekap adiknya dan memberikan usapan di punggung itu. Padahal, saat ini perasaan Jisoo sama hancurnya.

"Aku bahkan tidak bisa membayangkan hidupku tanpanya. Mengapa dia dengan mudah mengatakan itu?" Jisoo mulai paham, kedatangan Jennie meneuinya bukan hanya sekedar meminta maaf.

"Unnie akan memarahinya karena telah berkata seperti itu, nanti."

Jennie menggigit bibir bawahnya. Bagaimana mungkin dia dengan mudah menyakiti sosok yang meiliki dekapan hangat ini?

Padahal, sejak awal Jennie lah yang memohon pada Jisoo untuk menjadi penyangganya. Tapi mengapa jusru Jennie seakan lupa dengan itu?

Lisa benar. Tak sepantasnya Jennie menyakiti Jisoo sedikit pun. Mereka yang membawa Jisoo pulang. Mereka yang menginginkan Jisoo. Dan seharusnya mereka terus berterima kasih. Bukan menyakiti Jisoo seperti beberapa hari belakangan.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang