50. Beautiful Day

3.8K 724 66
                                    

Sebuah luka harusnya segera di obati. Namun bagaimana jika luka itu tak ada obatnya? Atau bahkan, luka itu justru bertambah tanpa bisa dicegah?

Lisa sama sekali tidak tahu, obat seperti apa yang Tuhan siapkan untuk keluarganya. karena bertubi-tubi mereka terus diberikan luka yang amat pedih. Lisa sendiri tidak bisa melakukan apa pun, karena dirinya lah yang menjadi salah satu sumber luka untuk mereka.

Pukul 2 siang Lisa sudah kembali ke rumah setelah mendatangi ketiga cabang Coffee Shopnya untuk memantau pekerjaan pegawainya.

Seperti kebanyakan orang, tujuan Lisa mendatangi rumahnya untuk mengisi kembali energi yang hilang. Tapi yang dia terima, justru energinya semakin terkuras.

Membuka pintu kamar itu, Lisa sebenarnya sudah mulai terbiasa melihat situasi yang terjadi. Namun mengapa ia selalu merasa berat?

Dugaan Lisa memang sangat tepat. Setelah mengetahui kondisi Lisa yang sebenarnya, Jisoo tidak akan bisa baik-baik saja. Kakaknya itu sulit untuk tertidur di malam hari karena selalu memikirkan bagaimana nasib adik bungsunya ke depan.

Baru saja sampai di rumah sekitar beberapa menit lalu, Lisa di beritahu oleh Hyunjin bahwa Jisoo sempat kambuh. Dokter Kim bilang itu karena Jisoo memiki banyak beban di pikirannya.

"Eoh, Lisa sudah pulang?" Minki yang mulanya mendengar suara pintu dibuka, mulai menoleh.

Terlihat oleh Lisa, jika ayahnya baru saja berkutat dengan tabung oksigen yang berada di samping ranjang Jisoo. Ayahnya tampak sudah sangat terlatih melakukan itu.

"Appa akan keluar. Jika kakakmu bangun, jangan perbolehkan dia melepas masker oksigennya dahulu." Minki memberikan kecupan singkat di kepala Lisa, lalu keluar dari kamar itu.

Minki pasti sangat lelah belakangan ini. Selain fisik, batin lelaki itu tidaklah baik. Belum selesai masalah kesehatan Jisoo, Minki hsrus dihadapkan dengan vonis dokter yang menekankan bahwa umur Lisa tidak lama lagi. Entah seberapa frustasinya lelaki itu.

"Maaf, karena diriku kau harus seperti ini." Lisa duduk di pinggir ranjang Jisoo. Memandangi wajah kakaknya yang sebagian tertutupi oleh masker oksigen.

Lisa tidak tahu, apakah dia harus bersyukur atau justru membenci keadaan ini. Melihat Jisoo yang sampai drop karena memikirkannya, menunjukkan bahwa sang kakak memang benar-benar menyayanginya sangat dalam.

Tapi dia juga membenci dirinya sendiri karena hanya bisa memberikan sebuah beban untuk Jisoo. Seharusnya, dia menghadiahkan suatu kebahagiaan atas kepulangan kakaknya. Namun yang Lisa beri selalu kesakitan pada perasaan Jisoo.

"Jika saja aku tidak bersikeras bertahan selama ini, kau pasti tidak akan memikirkanku sedalam ini." Lisa mulai berpikir, jika usahanya bertahan hidup sampai sekarang bukanlah keputusan yang baik.

Akan lebih mudah untuk keluarga mereka jika Lisa tidak ada, bukan? Dengan itu, mereka bisa lebih menjaga Jisoo. Serta kakak sulungnya yang tak akan memiliki tekanan karena terus memikirkannya.

"A-Ani." Lisa bisa melihat Jisoo mulai membuka matanya. Tangan kakaknya itu bergerak untuk membuka masker oksigennya, namun Lisa dengan cepat menahan.

Jisoo tidak mau mengalah, dan akhirnya Lisa memilih menyerah membiarkan Jisoo membuka masker oksigen itu. Dapat ia lihat, kakaknya sedang memejamkan mata sejenak mengatur napas yang terasa sesak.

"Mengapa Lisa harus menyesal pada hal membanggakan itu?" Suara Jisoo terdengar sangat serak.

"Karena keberadaanku hanya membuatmu sakit."

Jisoo menggeleng samar. Meraih tangan Lisa dan menciumnya berkali-kali.
"Itu karena Unnie sangat menyayangi Lisa."

Kenyataannya, Jisoo yang kondisinya menurun hanya karena memikirkan Lisa memang karena rasa sayangnya yang sudah melampaui batas. Lalu ketika mendengar Lisa berbicara seperti itu, perasaan Jisoo seperti di remas. Sangat sakit.

HomeWhere stories live. Discover now