39. Doubt

3.6K 760 116
                                    

Sudah genap 4 hari Jisoo tidak melihat batang hidung adik bungsunya. Untuk sekedar bertanya pun dia sungkan. Apakah Lisa sibuk mengurus bisnisnya? Karena terakhir yang Jisoo dengar, Coffee Shop Lisa akan berkembang dengan sistem bisnis waralaba kan?

Selain Lisa, kedua adiknya yang lain masih sering berkunjung. Namun mereka tidak bisa setiap saat disana karena sudah kembali memasuki kuliah.

Jisoo jadi merasa bersalah dengan keduanya. Mereka menghabiskan seluruh libur semester di rumah sakit. Jika begini, Jisoo benar-benar ragu. Apalah kedatangannya di keluarga ini sudah benar?

"Unnie, ayo ke taman. Kau pasti bosan."

Siang itu, Chaeyoung mendatanginya. Dengan wajah riang seperti biasa. Sampai Jisoo berpikir, apa Chaeyoung  pernah merasa sedih?

Benar. Dia pernah mendapati Chaeyoung menangisinya yang sekarat kala itu di ruang ICU. Sepertinya keberadaan Jisoo memang hanya untuk memunculkan kesedihan di keluarganya.

"Chaeyoung-ah." Jisoo memanggil Chaeyoung yang duduk di sampingnya. Tepat pada bangku taman rumah sakit. Sedangkan dia harus berada di kursi roda.

"Nde, Unnie" Chaeyoung menoleh. Masih saja dengan senyuman itu.

"Mengapa kau bisa menerima keberadaanku dengan mudah?"

Dahi Chaeyoung mengerut. Mengapa pembahasan kakaknya ini sangat dalam? Apakah kakaknya itu sedang berpikir berat sekarang? Seharusnya Jisoo tidak memikirkan itu. Dia tidak bisa dibiarkan mempunyai beban berat di pikirannya, atau kondisi gadis itu bisa kembali menurun.

"Unnie, jangan---"

"Kau... Kalian pasti kecewa. Aku hadir dengan banyak kekurangan. Aku tidak bisa menjadi kakak yang baik untuk melindungi kalian." Jisoo tampak menunduk setelah mengatakan itu.

Chaeyoung memang pernah berkeinginan untuk membuat Jisoo lebih banyak bicara. Tapi bukan pembicaraan seperti ini yang Chaeyoung maksud.

Jika Jisoo berbicara panjang lebar hanya untuk mengatakan omong kosong ini, maka lebih baik Chaeyoung memilih kakaknya bersikap seperti biasa. Tidak banyak bicara dan acuh.

"Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Bahkan aku mengacaukan liburan semester kalian. Aku---" Chaeyoung segera memotong ucapan Jisoo dengan mengecup sudut bibirnya sekilas.

Tangannya terulur mulai menghapus air mata yang membasahi wajah Jisoo. Setelah pulih, kakaknya sering sekali memikirkan hal negatif.

"Siapa bilang tidak ada yang bisa dibanggakan darimu, Unnie?" Suara Chaeyoung mulai terdengar parau.

Karena ucapan Jisoo yang seperti itu, Chaeyoung harus membuka luka lamanya yang sangat menyakitkan. Dimana satu bulan ini ia terus dihantui dengan rasa takut.

"Kami bangga padamu karena masih bisa bertahan. Kami melihatnya, Unnie. Kami melihat perjuanganmu yang keras itu. Kau membanggakan untuk kami melebihi siapa pun." Chaeyoung sepertinya harus memberikan Jisoo pemgertian.

Mereka tidak butuh Jisoo yang sempurna. Mereka hanya butuh keberadaan Jisoo di dekat mereka. Itu sudah lebih dari cukup.

"Dan juga... Aku tidak apa-apa dengan membuang waktu liburanku untukmu, Unnie. Jika bisa, apa pun akan kuberikan untukmu." Chaeyoung memang adalah adiknya yang luar biasa.

Gadis blonde itu selalu menyikapi segala sesuatu dengan bijak. Entah bagaimana bisa Chaeyoung tumbuh menjadi dewasa seperti ini.

"Kami sudah menunggumu cukup lama, Unnie. Itulah yang perlu kau tahu." Jisoo tersenyum mendengar itu.

HomeWhere stories live. Discover now