Rangkai XXXIII [Mutasi Sekolah]

92 16 5
                                    

Menjadi dewasa tidak terlalu baik. Kau dituntut paham oleh keadaan yang lebih banyak kejamnya. Ketika diam juga dianggap pecundang yang bisanya bersembunyi dalam bungkam. Alurnya, sepahit itu.

*****

"Gue udah lama mikir ini," Seorang cowok berkaus hitam lengan pendek itu berceletuk sembari menyodok bola kuning dengan tongkat bilyar di tangannya. Mendesah kecewa saat sodokannya gagal masuk. Tanpa frustrasi lanjut, ia memandang teman-temannya yang fokus pada permainan. Kemudian kembali memenggal lidah dengan pernyataan konyol, "Kalo yang punya asma boleh main suling gak sih?"

"Ck," Cowok lain yang berdiri di ujung meja mendecak jengah. "Bodoh lo jangan kumat deh, Tai!" Gafa menimpali judes.

Felis yang mendapat giliran menyodok bola yang tinggal tiga tersusun acak di atas permukaan meja persegi berwarna hijau itu hanya tertawa kecil oleh guyonan Altair. "Biasalah, Gaf. Udah malem, otaknya agak konslet,"

Altair yang menjelma subjek hinaan tak terima, mukanya bersandiwara dengan ekspresi marah. "Sembarangan lo!" Lalu ia mengacungkan tongkat yang ujungnya mengerucut itu ke arah seseorang lain yang berdiri dihadapannya terhalang oleh meja, "Menurut lo, Boss?"

Semua mata yang berada dalam ruangan khusus bermain bilyar di sebuah kafe mewah itu memerhatikan orang yang dimintai pendapat oleh Altair. Seragam sekolah masih membalut tubuh proporsionalnya, kendati seluruh kancing terlepas, menampakkan kaus hitam polos yang melekat di dada bidang yang tidak terekspos bebas. Rambut cokelatnya berantakan dan mata teduh yang tajam menjadi pesona tersendiri. Bibirnya tidak membelah untuk lontarkan sepatah kata, justru detik itu ia agak membungkukkan badannya, perlahan menarik mundur tongkat di tangan kanannya, seolah menakar gaya tolakan yang piawai.

Dan, ia berhasil nyaris sempurna. Dua bola masuk ke lubang berbeda setelah terpantul. Pertama lubang yang berada tepat di depan Felis yang menganga takjub. Kedua, pada lubang di dekat Altair yang spontan memasang ekspresi horornya.

"Gila, wah, gila, gila bener----" Altair bertepuk tangan setelah tongkat di pegangannya terlepas jatuh. "Lo lagi kacau, makin genius, ya, Boss!" serunya memuji Farren yang mengakhiri permainan dengan impresif.

"Gak heran kalau itu Farren," Felis menambahi, lalu ia melihat jam di ponselnya. "Guys, udah jam delapan, gak niatan pulang?"

Empat remaja cowok yang merupakan sekawan itu sudah berada di Kafe Andromeda sejak sore, setelah sebelumnya mereka menghabiskan waktu berkumpul di sekolah. Seperti sudah kebiasaan, tidak ada tujuan tertentu. Hanya niat bermain-main, daripada merasa bosan di rumah, mengingat besok hari Sabtu yang bertepatan guru-guru mengadakan rapat untuk kelas 12. Berita itu diumumkan siang hari ini sebelum jam pulang sekolah berbunyi.

Kafe ini menjadi tempat favorit kalangan muda-mudi untuk bersenang-senang. Terdiri dari tiga lantai dengan lantai ketiga merupakan tempat khusus bermain bilyar. Dan mereka sengaja menyewa ruangan tunggal yang artinya satu ruangan untuk satu meja, berbeda dari ruangan lain yang biasanya memiliki dua sampai tiga meja dalam satu ruangan.

"Gue terserah, sih. Abis dari sini mau jemput Elseya di les-nya" sahut Altair yang berlagak kekasih setia dan baik hati.

"Bucin lo, bangke!" Ledekan Gafa serempak dengan dering panggilan masuk yang berasal dari ponsel hitam tergeletak di atas meja kecil di sudut ruangan. "Farren, ponsel lo, tuh!"

Alih-alih bergerak mengambil ponsel dan menjawab panggilan miliknya, justru Farren tetap diam seraya bersandar menumpukan satu tangannya pada sisian meja bilyar. Matanya mengamati Felis yang melangkah mendekati ponselnya untuk mengecek nama yang muncul di layer ponselnya, "Dia lagi, Ren. Angkat aja, kasian udah lebih tiga kali neleponin lo juga,"

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang