Rangkai LIII : [Selesai Sesal]

97 10 9
                                    

Manusia tidak sungguh-sungguh baik. Ia hanya ditutupi oleh muslihat semu. Yang dipaksakan tidak terlihat meskipun dengan menipu.

*****


Yang dipaksa usai, seringnya buat hati terbengkalai.

Kini, rindu pun serasa digadai.

Ia melepaskan. Berdasar kesepakatan demi rumit kusut masalah masa lalu dituntaskan. Namun, perlahan, sisi dirinya sadari, tidak semudah itu memupuskan nama gadis yang berikan banyak makna di hidupnya yang semual pelik. Sosok diri yang terjebak di masa lalu dengan depresi akibat sesak bertahan dipendam selalu. Oleh waktu singkat, diisi momen bersama dengan gadis yang mengisi pikiran semrawutnya yang sedang sibuk melindungi bundanya agar tak terperangkap sisi buruk ayahnya untuk kali kedua.

Demi membuktikan pikiran yang tidak tenang berimbas pada dirinya yang sering tidak fokus sewaktu menemani Kirana di rumah sakit, ia melajukan motornya ke alamat yang masih dihapalnya kuat. Memilih ikuti kata hati, Farren pergi malam hari itu padahal cuaca langit malam nyaris siap menumpahkan gulungan deras hujan.

Sekiranya usahanya benar-benar lenyap dari kehidupan Rellya total bekerja sempurna saat ia lihat gadis itu berjalan keluar rumah menuju minimarket. Dengan trik cerdik, motornya mengekori tak jauh di belakang gadis itu. Agak rutuk bodoh atas sikap Rellya yang tidak membawa payung dengan kenakan baju tidur tipis tanpa lapisan lain yang cukup tebal. Wajah manis yang ia pandangi dalam diam dari luar minimarket—tempat motornya terparkir. Berakhir ia pergi sebelum Rellya memergokinya. Sebelum itu, ia sengaja belikan payung di pedagang dekat minimarket lalu titipkan pada kasir untuk diberikan pada Rellya.

Memutuskan pergi. Tanpa sapa berarti. Karena ia ragu, jika bertahan lebih lama, Farren tak akan bisa menahan dirinya yang tak puas hanya memandangi. Mungkin saja, langkahnya tanpa sadar menuntut bergerak kemudian menjumpai.

Bukan. Itu melanggar kesepakatannya dengan Deva. Yang sudah cukup banyak menderita. Kehilangan keluarga tanpa tersisa. Tidak sepertinya yang masih memiliki Kirana. Sampai hari ini.

"Aku gak bisa janji selesai cepat. Aku usahakan dua minggu, semua berkas dan urusan akan selesai." Seorang pria berjas hitam, setelan kerja formal, tampak tengah bicara serius dengan Kirana. Vokalnya tegas dan lantang. Seolah sudah biasa berorasi dan bernegosiasi pada banyak orang. Sesuatu yang cukup mudah dilakukan untuknya.

Kirana yang berbaring di atas ranjang rumah sakit tersenyum. "Terima kasih, Nando. Aku percayakan semua sama kamu. Sekali lagi, terima kasih."

Bertepatan usainya ucapan terima kasih terdengar begitu tulus dari Kirana, pintu kamar inap dibuka seseorang. Dari luar, sosok remaja laki-laki bertubuh tinggi berjalan menghampiri kedua orang dewasa yang tengah terlibat perbincangan serius.

Namun, kontak mata antara dua orang itu terputus sebab keduanya serempak menengok ke arah Farren yang juga memandangi mereka bergantian. Alis Farren mengerut, total selidik. Pasalnya, sewaktu ia tinggalkan sang bunda untuk menemui Dokter Kalva beberapa menit lalu, Kirana masih sendiri dalam kamar inap.

"Bunda, siapa?"

Pria yang berdiri di sisi ranjang Kirana memerhatikan Farren agak lama. "Putra kamu, Kirana?"

"Iya. Dia putra aku yang aku ceritakan ke kamu," Punggung Kirana yang semula bersandar di bantal tinggi menegak. Diraihnya tangan Farren bertujuan mengenalkan kedua laki-laki yang terpaut jarak umur cukup jauh. "Farren, ini Om Nando. Teman kuliah bunda."

Akhirnya, anggukan singkat diberikan Farren. Menyalam tangan Nando yang terlihat seperti orang baik. "Halo, Om. Saya Farren."

"Wah, anak kamu tampan, ya. Sudah besar, sudah bisa jaga bundanya," Nando tertawa kecil. "Gak heran, sih. Bundanya juga jadi primadona kampus pada masanya,"

FearsomeWhere stories live. Discover now