Rangkai XVI [Mantan Terindah]

165 23 34
                                    

Share, vote, comment! Thanks.

Kita saling mengaku dekat, tapi sebenarnya tidak begitu.

-Rellya Drenaza.-

****


Dalam hidupnya, ia tak pernah mengeluhkan deritanya pada orang lain. Menjalani hari dalam tameng kenakalan yang dibuatnya semata-mata hanyalah untuk pengusir rasa kesepian yang menikamnya tanpa sadar tiap ia meresepi detik-detik pilu. Saat momen itu datang, sisi kelam dalam dirinya memberontak, mengobarkan api perang untuk mengalahkan kesedihan akan nasib hidupnya.

Sekiranya Deva akan bertahan hidup seperti itu. Terlalu angkuh merendahkan egonya, atau karena ia memang tidak memiliki tumpuan sebab semua orang membenci dan menjauhinya.

Hidupnya, terlalu melarat. Pula mencoba tenang bukanlah cara ajaib yang bisa digunakan olehnya selamanya. Termasuk detik ini.

"Nenek anda dalam masa kritis. Syaraf tulang belakangnya mengalami kerusakan karena kecelakaan yang dialaminya, hal itu menyebabkan syaraf yang menjalar hingga kaki kirinya tidak berfungsi maksimal."

Deva tertegun mendengar penuturan dokter yang baru saja membaca hasil laboratorium rumah sakit mengenai kondisi neneknya yang dilarikan ke rumah sakit oleh tetangga beberapa jam lalu.

"Dengan kata lain, nenek saya lumpuh, Dok?" tanya Deva dengan napas yang berdesakan oleh ketakutan.

Pandangan sang dokter berubah tak enak pada anak remaja yang duduk di seberang mejanya, "Harus saya katakan jujur, iya. Nenek anda akan mengalami kelumpuhan total. Jika saja nenek kamu langsung dioperasi di waktu kecelakaan itu terjadi, masih ada kemungkinan pemulihan syaraf yang telah rusak itu untuk kembali seperti semula."

Bibir Deva dibungkam putus asa. Pikiran cowok itu sudah menjalar buruk, mengacaukan sistem kerja otaknya sehingga kepalanya seolah akan meledak. Denyut-denyut itu menekan kepalanya dalam kebingungan.

Neneknya lumpuh, kesedihan barunya datang.

Bahkan napasnya belum teratur normal lantaran ia sehabis berlarian turun dari bus yang berhenti di halte tak jauh dari tempat tujuannya, demi menengok keadaan neneknya yang diberitahukan oleh tetangganya bahwa sang nenek tiba-tiba ditemukan terjatuh di teras rumah.

Tak mau larut memikirkan masalah hidupnya, Deva mengucapkan terima kasih, sambil menarik seutas senyum sumir. Berdiri dan berencana menjenguk neneknya dalam ruang inap, sebelum suara dokter mematahkan sedikit cecah semangat yang sempat dikaisnya.

"Jangan lupa membayar biaya rumah sakit dan resep obat yang harus ditebus paling lama hari ini. Terima kasih,"

Matanya memerah. Sesuatu melesak keluar dari pelupuk matanya.

Bolehkah Deva menangis sekarang juga? Dunia ini terlalu membuatnya muak karena selalu menyangkut-pautkan uang atas segalanya. Menyiksanya sebagai kaum lemah yang tak punya daya upaya.

****

Jangan pulang.
Tunggu di pintu masuk gedung.

Setelah melontarkan alasan yang masuk akal pada Bu Anis dan Pak Eko, akhirnya kedua guru pembimbing itu membiarkannya tak ikut pulang bersama mereka. Masalah Deva, Rellya tidak tahu kenapa, sejak menyeret cowok itu dari lapangan basket menjauhi kedua teman akrab Farren menuju aula, Deva banyak diam, hingga cowok itu memutuskan pulang lebih awal dengan transportasi umum setelah menerima panggilan dari ponselnya. Bahkan pamit pada Rellya saja tidak.

FearsomeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora