Rangkai XXXIX [Rasa Terhempas]

113 15 8
                                    

Aku tidak tahu pasti. Entah itu sejak takdir mengikat kita. Ataupun sebelum temu tetapi hati sudah miliki sebuah koneksi. Rasa itu selalu ada. Selalu percaya. Meskipun pada akhirnya kamu tak lagi ada.

*****

"Farren, jangan gerak-gerak wajahnya!
Lo gak bisa diem dari tadi, jadi susah ngobatinya," Gadis berparas manis itu bersungut bibirnya. Ekspresi menahan kesalnya tak terbendung kali ini, setelah sekian lama sabar menghadapi tingkah laku pasien yang sedang diobatinya.

Subjek yang menjadi biang omelan acuh tak acuh. Semula, jemari yang bermain di ujung rambutnya berhenti. Mendadak tak lagi memelintir pola abstrak di sana. Alasan kekesalan si gadis bertambah saat sadar kalau rambut kuncir kuda-nya telah berantakan akibat ulah tak berfaedah sang adam.

"Kenapa berubah?" Alis tebal itu terangkat sebelah kala aksen bertanya Rellya mengudara.

Seraya menutup botol alkohol dan membuka plester pembalut luka, lirikan jengah didapati Farren. "Apanya?"

"Gaya bicara lo. Telinga gue masih sehat denger lo nyebut aku-kamu tadi."

"ASTAGA, FARREN!" Rellya memekik tiba-tiba, impulsif perasaan malunya yang mencapai ambang batas. Meenyembunyikan muka merah padamnya dibalik telungkup kedua tangan di atas meja bundar kecil di samping ia dan Farren yang duduk di kursi saling berhadapan.

Farren tertawa kecil tanpa suara. Melihat Rellya yang malu atas perilakunya sendiri cukup menghiburnya. Pun Rellya lupa jika plester yang dibukanya telah tergeletak begitu saja di atas meja setelah ia tanpa sadar membuangnya.

Masih terbayang saat insiden Deva meninjunya di depan kafe. Berakhir ajakan cenderung rengekan Rellya meminta pulang. Didasarkan alasan tak ingin masalah hidupnya semakin ruwet, terlebih ada gadis yang ingin dilindunginya, Farren menuruti. Pergi meninggalkan Deva yang diam. Memaku pandang sampai hilangnya motor Farren di ujung persimpangan jalan.

Dan di sinilah mereka sekarang. Rellya menawarkannya untuk diobati di rumahnya saja. Namun, ditolak oleh Farren. Beralasan jika tak ingin merepotkan orang rumah nantinya. Jadilah, mereka berakhir singgah di minimarket yang berseberangan dengan warung bakso Bu Nita. Duduk di kursi yang disediakan di luar area minimarket. Sebuah tenda berbentuk atap jamur memayungi mereka dari sinar matahari.

Sebab tak mendengar suara Farren yang menggodanya lagi, Rellya menengadah kepala perlahan. Masih malu mengingat kebodohannya beberapa saat lalu. Ia refleks menggunakan sapaan yang terlambat disadarinya jika terdengar menggelikan. Pernah mendengar kalimat, orang panik, bisa bebuat hal bodoh? Itulah yang dialaminya.

"Loh? Kok ngobati sendiri?" Rellya bertanya bodoh. Melihat Farren mengambil plester luka dan menaruhnya tanpa gerakan serius di bagian wajahnya yang terluka.

Farren menatapnya sejenak, sebelum kembali fokus merekatkan plester di wajahnya dengan benar. "Pacar gue gak becus ngobati gue,"

Kening Rellya sontak berkerut, tak suka. Menyadari sindiran halus untuknya. "Makanya jangan usil!" protesnya, tidak terima disalahkan seperti itu. Ia beringsut mendekatkan kursinya ke depan. "Sini, diliat dulu, ada lagi gak lukanya?"

"Udah gak malu lagi, hm?" Suara sarat gurauan semata itu terlontar ketika tangan Rellya sedikit lagi menangkup wajahnya. Spontan ditamparnya pipi Farren.

Tamparannya mungkin agak terkena bagian luka membiru yang dihadiakan Deva sehingga Farren refleks memejam sembari bibirnya berkedut, meredam ringisan. Tenaga Rellya cukup kuat membuatnya menyesal menggoda gadis itu.

"Eh, sakit, ya? Maaf-maaf. Gak sengaja,"

"Gak." Farren menggeleng samar. Benar saja, perihnya sudah hilang. Tidak bertahan lama. Luka sejenis ini biasa olehnya. Ia sering mendapatkan lebih dari ini.

FearsomeWhere stories live. Discover now