Rangkai XLIII [Peluk Deva]

112 12 1
                                    

Aku tak ingin hubungan ini hancur. Namun, aku butuh pengakuan lebih dari yang selama ini kita jalani. Keyakinan memiliki. Takut kehilangan dikasihi. Percayaku kuharap tak kau khianati.

****

"Rell, giliran lo!" Teriakan sang ketua kelas mengomando Rellya masuk ke lapangan basket. Setelah gurunya mengajari materi topik bola basket selama lima belas menit, guru laki-laki yang masih muda dan selalu menjadi subjek godaan para murid cewek di SMA Ganantra itu memberi amanat pada ketua kelas, Ananta, agar membagi dua regu dari masing-masing jumlah perempuan dan laki-laki di kelasnya untuk bertanding. Karena murid perempuan lebih dari setengah populasi laki-laki di kelasnya, jadilah ada yang harus menunggu giliran di pergantian sesi. Dan Rellya mendapat sesi kedua.

Duduk lesehan di pinggir lapangan, Rellya terseret dari lamunannya.

Keningnya mengerut. Kian malas bergerak dari posisinya kala murid perempuan kelasnya sudah bersiap sedia memulai pertandingan baru di tengah lapangan. "Ini gak dinilai, kan?"

Ananta menggeleng. "Gak. Minggu depan baru ujian praktik." Jawab ketua kelas seraya sibuk mengarahkan alur pertandingan pada anggotanya.

"Ya udah, gue gak ikut." Rellya menjawab santai. Ia menoleh ke sampingnya. "Ziv, gantiin, ya,"

Cewek yang berkucir rambut satu duduk cukup dekat darinya itu memberi respons tak sepenuhnya terima. Namun, Rellya segera membuat wajah lemasnya. "Duh, kepala gue sakit, gak bisa fokus mainnya, lagian lo juga belum kedapatan giliran, kan." Rellya berkilah.

Teman sekelasnya yang bernama Ziva itu menjadi berat untuk menolak. Ziva dikenal perempuan baik di kelasnya yang jarang membaur dengan temannya yang lain karena memiliki selera dan minat yang terbilang aneh, alias fanatik terhadap kisah-kisah mistis. Bukannya dijauhi, tetapi Ziva sendiri yang membuat batas. Toh, selain itu, Ziva baik dan termasuk murid pintar yang tidak pelit ilmu. Tidak rugi bila menemaninya.

Akhirnya Ziva mengangguk pasrah. "Oke deh."

"Thanks, ya!" Rellya tersenyum lebar. Mengacungkan kepalan tangannya pada Ziva yang berdiri dan mulai masuk ke formasi di lapangan. "Semangat, Ziv!"

"Bagus. Udah mulai bohong, ya, lo." Suara lain itu berasal dari Dasya yang tiba-tiba datang dan mendaratkan tulang duduknya persis di sebelah Rellya yang membelalak. "Tumben. Rellya yang gue kenal taat peraturan biasanya," komentarnya seraya mengelap keringat akibat bermain basket di sesi pertama pertandingan.

Benar. Bukan tipikal Rellya yang mudah melenceng dari ketentuan yang berlaku, terutama masalah yang menyangkut pembelajaran. Meskipun tubuhnya malas beraktivitas fisik yang berlebihan karena tidak biasa, jika sedang dalam kegiatan pembelajaran, ia sebisa mungkin untuk tetap mengikutinya dan melakukan sampai tuntas. Namun, hari ini berbeda. Raut wajahnya yang semula sempat tersenyum pada Ziva sekilas Dasya tampak semu penuh paksaan. Terlebih sejak pagi dan pertama kali melihat kedatangan Rellya yang tidak bersemangat dan lebih banyak diam meyakinkan dirinya bahwa sedang ada sesuatu pada karibnya itu.

"Nggak ada apa-apa, kok." Rellya menghela napas.

Dasya memerhatikan Rellya yang matanya sayu dan terdapat kantung mata menghitam. . "Kantung mata lo nampak banget,"

"Eh?" Sigap, Rellya menyentuh bagian bawah matanya. "Oh ini akibat begadang tamatin satu drakor."

"Kambing, gue kira lo nangis gegara dikecewain doi," ucap Dasya yang kemudian menoyor bahu Rellya cukup keras. Membuat si pemilik tubuh mendelik padanya. "Ups, iya. Lo kan gak punya doi," tambahnya berunsur ejekan kentara, menyengir tanpa beban.

FearsomeWhere stories live. Discover now