Rangkai XXXII [Salip Rasa]

90 16 4
                                    

Tolong, jangan terlalu memendam semuanya sendiri. Manusia tidak sekuat itu.

*****

"Oy, Musuh!" Deva berteriak lantang begitu bertemu muka dengan Farren yang baru saja mengeluarkan motornya dari garasi rumah. Deva bersender di pintu mobilnya, menunggu respons dari cowok yang sedang memanaskan mesin motornya.

Pagi hari, mereka kompakan sudah mengenakan seragam dan membawa ransel berbeda warna. Jika ransel Farren berwarna hitam, maka Deva adalah abu-abu. Kendati ada keunikan dari persamaan kedua remaja tersebut, yaitu berpakaian dengan tidak begitu rapi. Baju seragam tidak dimasukkan, dasi tidak terpasang benar, rambut berantakan serupa tidak disisir. Oh, jangan lupakan tas mereka yang terlihat ringan seperti tidak memiliki beban yang berat. Tipikal cowok sekolahan yang menganggap segalanya mudah.

"Kemarin malam lo dimarahi lagi, ya?" Pertanyaan Deva bertujuan memantik percikan api perdebatan.

"Enyah." usir Farren bermakna ringkas.
Terlalu malas meladeni Deva sepagi ini. Meraih helm-nya sebelum suara menyebalkan Deva terdengar lagi.

"Gimana, sih, rasanya dirawat sama orang yang jadi pelaku retaknya keluarga harmonis kayak lo? Gue penasaran,"

Farren menoleh. Memandang datar ke arah Deva yang kian melebarkan kekehan sarkasmenya.

"Bukannya lo makin kekanakan dengan ngungkit ini terus?"

Deva tertegun sesaat mendengar pernyataan telak Farren. "Apa?"

"Tapi karena gue baik, gue kasih tahu ke lo," Farren menurunkan helm-nya, menyugar rambutnya yang setengah basah sebelum lanjut bersitatap dengan Deva. "Rasanya bahagia. Lo dapetin kasih sayang dari dua wanita hebat sekaligus. Lo gak ngerasain, kan? Lo gak punya siapa-siapa."

Tangan Deva terkepal di sisi tubuhnya. Mendadak tujuannya yang ingin merusak suasana hati Farren menjadi bumerang baginya. Farren sengaja membalikkan kalimatnya, menyinggung sesuatu sensitif di hatinya dan sayangnya hanya cowok itu yang mengetahui dengan baik kelemahan dirinya.

Tetapi, angkara yang berkecamuk di hatinya sontak luruh, pikirannya tak membiarkan Farren pergi dalam kemenangan. Oleh karenanya, Deva maju beberapa langkah seiring Farren melajukan pelan motornya, melewatinya tanpa kesan berarti.

Oleh suara yang dikeraskan, ia berkata, "Lo salah. Rellya selalu mau dengerin dan dukung gue. Gue punya dia."

Setelah kalimat Deva terselesaikan, tak butuh banyak detik yang terbuang, Farren lekas memacu motornya, pergi. Meninggalkan Deva yang mendecak geram karena mengira gagal menyulut sikap tenangnya.

Ia tak tahu saja, jika beberapa menit lalu, Farren pergi dengan suasana hati yang terpengaruh pikiran buruk akibat pernyataan Deva.

***

"Sya, seriusan dare-nya ini? Gak jadi, deh, gak berani gue," Rellya menahan tangan Dasya yang secara tak sabaran untuk mendekati pojok kantin yang sedang dihuni oleh senior-senior berandalan SMA Ganantra.

"Lo udah kalah, ya, jadi harus dilakuin. Udah, sekali-kali coba warnai masa SMA lo, Rell, jangan lurus-lurus banget," celoteh Dasya sok bijaksana yang kemudian dihadiahi jitakan keras di kepalanya. "Heh, sakit tau!" ringis mendramatisir.

"Lo gila? Malu tau tiba-tiba gue datang ke sana dan minta foto berdua sama dia di depan temannya. Gak ah, gue mau balik kelas," Rellya berbalik, memutar tumitnya lekas setelah membayangkan betapa ngerinya jika ia harus menjalankan tantangan yang diberikan Dasya sebagai konsekuensi dari kekalahannya dari permainan subway rush yang mereka lakukan beberapa saat lalu mengisi jam pelajaran fisika yang kebetulan kosong.

FearsomeWhere stories live. Discover now