Rangkai XIX [Membela Musuh]

230 20 58
                                    

VOTE FIRST! THANKS!

Manusia terlalu sempurna. Untuk keangkuhannya.

****

Dua pengawal itu langsung menggeleng cepat, tentunya jika Farren menginginkan kabur dari penjagaan mereka, akan sangat mudah bagi anak tuannya itu untuk lolos. Jika itu terjadi, mereka akan kewalahan mencari Farren dan pastinya akan diomeli majikan mereka. "Baik, Tuan."

Farren memejamkan mata saat mendengar derap langkah pengawal itu meninggalkan ruangan.

Awalnya ia hanya ingin mengganti baju pasiennya dengan baju biasa, dipaksakannya tangannya yang masih lunglai melepas kancing baju, sesekali meringis tertahan demi tidak ingin membuat orang yang diketahuinya berjaga di depan pintu masuk dan melarangnya melakukan aktivitas sekecil apapun. Namun ketika ingin menanggalkan baju pasiennya, ia lupa bahwa punggung tangannya sejak ia sadar pagi hari sudah diinfus, sehingga selang infus itu menyusahkan gerakannya. Berpadu dengan lengan dan leher yang terasa nyeri, tangannya malah berujung menyenggol vas bunga yang berada di atas nakas, terjatuh pecah berurai, menimbulkan bunyi lantang yang merebak telinga.

Langkah mendekat menujunya menarik atensinya lagi, Farren yang mengartikan bahwa itu adalah kedatangan perawat otomatis mengangkat tangannya yang diinfus, mengulurkan ke depan seperti menyuruh sang perawat segera melaksanakan tugasnya.

Ada sengatan perih saat tangan perawat itu menyentuh jarum infusnya yang sudah tak beraturan rapi lagi, selangnya terbelit di dalam kain baju lengannya yang kemudian malah mengherankan bagi Farren secara perlahan.

Ia sadar, perawat itu malah memperbaiki jarum infus dan membenahi selang infusnya supaya benar. "Saya minta dilepas, bukan dipasang lagi, Sus."

Bersamaan Farren membuka matanya, netra kelabunya malah dihadapkan sosok gadis yang dikenalnya sedang menatap fokus pada selang infus yang melilit yang lengan bajunya.

"Kenapa ganti baju aja gak bisa? Sampe ngehancurin barang yang bukan milik lo," gumam Rellya yang gerakan tangannya telaten memindai selang infus Farren, menghindari efek kesakitan pada diri pasien.

Farren terpegun sesaat. Setelahnya, pandangannya kembali terlihat tidak bisa diartikan.

Ia membiarkan Rellya sibuk pada aktivitasnya, sekalipun jarum infus itu sudah menancap lagi di permukaan kulitnya. Gadis itu sama sekali tak menatapnya. "Lo ngapain?"

Mendengar suara datar Farren, Rellya yang badannya agak merendah dan condong pada Farren selanjutnya kembali tegak, selesai membenarkan infus Farren seperti semula, barulah ia memberanikan diri membalas tatap Farren. Tidak sanggup jika nantinya ada penolakan yang harus diterimanya dari bibir cowok itu. Rellya berharap, semoga saja tidak.

"Gue mau jenguk lo, Farren." Satu lengkungan sumir ditekan oleh bibirnya, Rellya mengamati keadaan Farren. "Gue kira semalam lo udah mati kehabisan darah." Sialnya, ia tak bisa menahan suaranya agar tetap normal dan tidak menahan isakan.

Sebab dirasakannya bulir-bulir di pelupuk matanya bersikeras melesak keluar. Mereka bersitatapan dalam diam. Farren menatapnya tenang, tidak terpengaruh, sementara air mata Rellya sudah bergulir turun, pandangannya perlahan jatuh pada bahu lebar Farren yang bagian kainnya sudah tersingsing, menampakkan perban putih yang pastinya menutupi bekas suntikan biadab orang-orang yang menyerang mereka kemarin, lalu dibalik kancing baju yang sudah terlepas sepenuhnya, ia bisa melihat jelas luka-luka membiru di bagian perut Farren. Jauh lebih baik daripada melihat cowok itu tidak sadarkan diri.

Melihat tidak ada tanggapan Farren, Rellya kembali bersuara normal semata, "Kenapa infusnya mau dilepas? Lo belum sembuh. Luka lo masih harus diobati." Rellya berdeham canggung, "Gue kancing lagi ya bajunya, nanti lo masuk angin." Pesannya, lantas menggerakkan jemarinya supaya memasang kancing baju Farren, berusaha mengabaikan pipinya yang bersemu lantaran cowok itu sedang melihatkan otot-otot perutnya yang terbentuk indah secara gamblang.

FearsomeWhere stories live. Discover now