Rangkai VI [Tengkar Sesal]

220 38 70
                                    

Selamat membaca! Vomment, jangan lupa!!!

Pandanglah langit saat tanah menolak untuk dipijak. Tanah tetap menjadi tempatmu tegak, menopang diri. Sementara langit tetap menjadi keindahan yang hanya bisa kau pandang, tanpa kuasa kau sentuh.

Penulis

****

"Gue depan gerbang Ganantra."

Sambungan itu diputus sepihak oleh lawan bicaranya. Rellya yang sedang memandu anak-anak kelas sepuluh membuat literatur karya puisi tiba-tiba berhenti memeriksa bait per bait di kertas putih itu, lalu dengan tangan yang masih menggenggam ponsel, ia berjalan keluar ruangan ekstrakulikuler bahasa tergesa-gesa. Mengabaikan teriakan teman seangkatannya yang bertanya alasan dirinya meninggalkan tanggung jawab begitu saja.

Rellya menyusuri koridor yang telah sepi. Menuju gerbang. Langkahnya penuh kecemasan. Bagaimana tidak, setelah terkejut mendapati panggilan kontak baru di ponselnya yang ragu-ragu Rellya angkat, malah rungunya mendengar suara baku hantam disusul suara teriakan-teriakan cowok penuh emosi yang mengerikan baginya.

Lupakan tentang keanehan dirinya yang bisa merasa sekhawatir ini pada seseorang yang bahkan belum lama dikenalnya, ditambah sejak tiga hari dari pertemuan rumah sakit itu, tepatnya ia diantar oleh teman Farren yang sama sekali tidak ada mereka saling berbicara kecuali saat ia meminta diturunkan di jalan yang tak jauh dari rumahnya, Rellya mencoba menjalani harinya seperti biasanya. Ia berhasil, sebelum detik-detik suara tinjuan dari telepon yang sambungannya masih terhubung membuat ketenangannya berubah diliputi kepanikan.

Bagaimana jika cowok itu terluka? Bukankah itu mungkin saja terjadi. Anggap saja ini intuisi hati seorang manusia sebagai makhluk sosial.

Rellya mengatur napasnya begitu sampai di gerbang. Ia membungkungkan badannya diiringi napas yang terengah-engah, tanpa mengulur waktu ia mendongakkan kepala, pandangan matanya bependar mengamati area sekitar gerbang. Mencari keberadaan seseorang.

Dan, ia terperanjat menemukan seorang cowok yang berdiri bersandar di badan motor berjarak dua meter dari sisi gerbang, tempat ia berdiri. Cowok itu menatapnya dalam satu garis lurus sembari membenamkan kedua tangan disakunya.

Oleh langkah yang meragu, Rellya memberanikan diri menghampiri Farren. Jaket hitam melekat sesuai ditubuhnya, menutupi seragam Madava yang tampak sangat berbeda dari seragam sekolah lain.

"Lo--- astaga pelipis lo kenapa berdarah?!" Mata Rellya terbelalak menyadari bagian wajah cowok yang lebih tinggi darinya itu terluka. Luapan kekesalannya terhadap Farren yang datang tiba-tiba ke sekolahnya menjadi pupus, Rellya menunjuk pipi membiru Farren. "Itu pipi lo kenapa biru? Lo baru keluar dari rumah sakit tapi udah dapat luka baru. Lo berantem sama anak sekolah gue? Astaga kenapa--"

Rellya berhenti berbicara, tangannya bergerak menyugar helai-helai rambut yang keluar dari kuncirannya akibat hilir angin menyebabkan tatanan rambutnya berantakan. "Astaga, gue gak tau lagi mau ngomong apa."

Farren hanya diam, mengamati.

Hari ini Farren menyimpulkan bahwa Rellya adalah tipe cewek yang sengaja mengenakan seragam yang longgar, rok yang pas di garis lutut. Membuat lekuk tubuhnya tidak terlihat menonjol seperti cewek lain di sekolahnya yang kebanyakan ingin mempertontonkan tubuh mereka melalui seragam yang ketat dan rok yang jauh di atas lutut.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Rellya menyuarakan pertanyaan yang dirasanya paling penting daripada yang lain. Ia mencoba mengesampingkan rasa kasihannya pada wajah cowok itu yang tampak tak baik-baik saja.

FearsomeWhere stories live. Discover now