Rangkai XXXVI [Menjadi Kuat]

110 13 7
                                    

Menjadi kuat adalah alasan manusia bisa bertahan melawan bengisnya dunia yang sewaktu-waktu dengan tega akan memisahkan mereka dari orang-orang tersayang.

***

Siang dibentangi langit cerah dimanfaatkan Deva untuk mengunjungi neneknya di rumah sakit berkualitas yang terletak di jantung kota. Jam belajar wajib sesuai kurikulum seharusnya telah terlewati dua jam lalu. Namun, sepertinya ia semakin merugikan dirinya dengan membolos jam tambahan yang dikhususkan untuk tingkatan akhir menjelang ujian nasional akan berlangsung dalam kurun waktu sekitar satu bulan dua minggu lagi. Tekadnya mengendarai mobilnya seraya membawa buah-buahan untuk memastikan kemajuan kondisi kaki sang nenek yang masih dalam penyembuhan.

Kata dokter yang menangani neneknya sebagai pasien, kelumpuhan di kaki sang nenek tidak permanen, tetapi butuh proses lama dan waktu tidak singkat untuk mencapai keadaan sehat optimal hingga bisa berjalan seperti manusia normal pada umumnya.

Oh, tentunya ia harus berterima kasih atas kebaikan Wiguna selaku orang baik yang telah sangat berjasa di hidupnya.

"Assalamualaikum, Nenek." Salam pembuka itu meluncur begitu pintu ruang rawat inap dibukanya. Deva melangkah masuk ke ruangan yang berisikan empat wanita berumur senja dalam kasus penyakit yang tak jauh berbeda dengan yang dialami neneknya. Wajah sangar yang ditunjukkan pada orang lain sejemang menjelma aura malaikat, bibir menoreh senyum ramah pada pasien-pasien seumuran neneknya seolah sudah akrab. Berperan layaknya cucu yang baik dan penurut. "Deva datang, Nek. Bagaimana kabar Nenek? Kakinya sudah baikan?"

Deva mewalakkan bingkisan buah segar di atas meja kecil dekat ranjang pembaringan sang nenek. Sebelumnya ia menyapa kabar para pasien yang berada di ruangan sama dan dibalas oleh jawaban-jawaban hangat. Sepertinya, pasien-pasien itu menyukai Deva sejak awal kehadirannya menjenguk sang nenek pertama kalinya.

"Deva, kamu seharusnya fokus saja ke belajarmu. Tidak perlu menjenguk nenek tiap hari. Nenek merasa baik-baik saja selama di sini," Wanita berusia matang dengan keriput melunturkan gurat yuwana wajahnya itu memberi petuah pada sang cucu kesayangan.

Deva tetawa jail. "Eiii, Nenek berlebihan. Cucu nenek ini sangat pintar, ingat?" Tangannya bergerak guna memberi pijatan lembut pada kaki sang nenek yang ditimpa selimut pasien.

"Melewatkan kelas tambahan?" Nenek memukul bahu Deva. Tenaga wanita yang tak muda lagi itu tak berarti lebih baginya. Deva bertingkah seolah kesakitan atas tindakan sang nenek. "Jangan menyepelekan semuanya. Jangan sering membolos lagi. Kamu harus jadi orang sukses."

"Iya, Nek, iya."

"Bagaimana keluarga baru kamu? Kamu bahagia, Nak?" Pertanyaan dari sang nenek mendapat reaksi pasif sejenak dari Deva.

Ia bingung akan melontarkan jawaban seperti apa. Jujurnya ia tidak merasa total bahagia setelah diadopsi Wiguna menjadi anak angkat di keluarga penuh kerumitan itu. Namun, mengakui sengsara juga sepertinya berlebihan. Nyatanya, ia dilimpahi materi dan afeksi yang tulus, pun hampir setara dengan yang didapatkan Farren dari sepasang suami istri tersohor itu.

"Ya, semuanya berjalan baik, Nek. Deva sekarang bisa membeli apapun yang Deva mau," ungkap Deva sekian detik dihuni senyap. Konsesi miliknya berujung senyum teduh di bibirnya.

Terkadang berbohong untuk menyaksikan kebahagiaan dari orang yang disayangi itu lebih penting dari keadaan pahit yang disembunyikan jauh dari jeritan hati.

"Baguslah. Nenek senang. Pak Wiguna telah banyak menolong hidup kita. Nenek harap kamu bisa membalas jasa beliau nantinya, ya,"

Mendengar permohonan bernada penuh harap itu tak elak mengibakan egonya. Akhirnya, tak ingin membuat neneknya sedih, Deva mengangguk. Gerakan kaku kepalanya tak ditangkap sang nenek sebagai tanda kebohongan yang samar.

FearsomeOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz