[Keping Dua : Tamat]

55 5 0
                                    

"Kak Deva, congrats buat kafe lo yang makin sukses, ya. Nih ada gift dari kita yang patungan, gak mahal tapi mungkin berkesan, kita gak mau datang ke sini tangan kosong doang," Elseya berkata bijak, mengawali pembicaraan, tipe cewek lugas sekaligus sosial tinggi, paket komplit.

Memahami maksud tatapan Elseya padanya agar menyerahkan sesuatu yang dibawanya sejak awal kedatangan, Rellya akhirnya ragu-ragu sodorkan pot kaktus yang ujungnya diselipkan pita kuning dan dibungkus plastik bening, "I-ini, Kak, selamat ya,"

Dalam ucapan lirih itu, Deva tidak diberi kesempatan menatap manik karamel Rellya sebab gadis itu pilih mengalihkan atensi sembarang, terkesan menghindari kontak mata dengannya.

Menerima reaksi canggung Rellya, Deva tak luput untuk tersenyum kecil. "Thanks, ya." Hanya itu. Tetapi, Rellya sejemang membeku sebab kulit tangan Deva bersentuhan dengan miliknya secara refleks saat ingin mengambil alih pot di pegangannya.

"Itu pilihan Rellya loh. Katanya Kak Deva bakal suka tanaman," tambah Elseya.

Rellya gelagap merangkai aksara secara benar. "Bu-bukan. Kaktus cocok karena dirawat mudah, gak perlu disiram tiap hari, gak butuh sinar matahari banyak juga,"

Rellya tidak tahu alasan ia berpikir bahwa ia harus menjelaskan sesuatu tak berdasar dan penting seperti yang baru saja ia katakan.

"Well, kayaknya gue gak bisa rawat juga. Nanti gue suruh anak lain deh."

Gafa berceletuk ringan sehabis meneguk ice cholocate signature-nya, "Keberangkatan lo ke luar kota tempat kampus lo kuliah?"

Anggukan Deva membenarkan. Memanggil pegawai kafe yang kebetulan lewat untuk dimintanya mengatur letak tanaman kaktus pemberian dari teman-temannya, "Yap. Gue berangkat Sabtu ini."

"Bukannya masuk kuliah masih lama?"

"Iya, tapi gue pengen lebih cepet aja perginya. Kosan gue udah deal. Biar gue kenal lingkungan juga. Gue cari-cari kerjaan paruh waktu sampai sebelum masuk kuliah di sana. Itung-itung niat nambah cuan buat kuliah."

Felis berdecak kagum, "Hebat bener pemikiran lo, Bang, asli deh,"

"Jadi, kafe ini?"

"Ada kepercayaan gue. Terus, ini bukan sepenuhnya milik gue, gue diamanahkan sama bokap Farren, mungkin gue balikkan lagi ke yang berhak penuh," jawab Deva atas pertanyaan Altair.

Mendengar satu nama diungkit dalam kalimatnya, menjadikan pikiran gadis yang lebih banyak diam di antara mereka mendongak. Sorot matanya menelisik pada segala penjuru, tetapi tak kunjung temukan presensi seseorang yang dicarinya. Rellya termenung. Di balik rasa haru dan turut bahagianya atas pencapaian Deva dan hangatnya suasana orang-orang yang bersamanya sekarang, ada selinap rasa kehilangan samar menyelimuti dirinya. Pun sekat di rongga hati yang berteriak rindu. Rellya tidak mampu mengobati lara yang sudah menjelma ibarat sembilu.

Merasa dirinya enggan terlibat obrolan hangat terkait bahasan ringan di depannya yang sudah menjalar kemana-mana, lamunan Rellya diusik oleh tepukan pelan di pundaknya. Tengok ke sisi ternyata jumpai sorot teduh dari Deva.

"Hei, gak papa? Gimana hasil satu semester ini?" Perbincangan terlampau sederhana. Deva hanya tulus ingin mengajak Rellya mengobrol. Tanpa bawa perasaan yang masih tersisa untuk gadis lebih muda.

Ditanya lembut seperti itu, rasional Rellya kian tak terarah. Satu sisi meninggalkan lamunan akan sosok Farren. Satu sisi menyadari telak jikalau dirinya dan Deva sungguh telah bisa menerima keadaan, berdamai pada perasaan satu sama lain.

Ya, hubungannya dengan Deva kembali membaik. Hanya saja Rellya terlalu merasa buruk. Padahal, Deva sudah terang-terangan membuka lembaran awal padanya tanpa mempermasalahkan apapun lagi.

FearsomeМесто, где живут истории. Откройте их для себя