Rangkai XLVII [Berakhir Rasa]

92 12 2
                                    

Dunianya begitu kelam sampai cintanya sulit untuk abadi kugenggam.

****

Hari beranjak sore. Awan kelabu semburat suram menggantung di cakrawala. Tak menjeda hiruk-pikuk kehidupan manusia yang sibuk mengurusi duniawi. Penghujung hari melelahkan bagi mereka yang terus bekerja, tak pernah merasa berpuas diri.

Di ruang kamar inap berkualitas paling mewah di rumah sakit ternama kota, seorang anak tak henti memandang penuh lembut dan afeksi pada rupa wanita yang melahirkannya-tengah berbaring terlelap damai di ranjang rumah sakit-setelah melewati serangkaian terapi fisik alat gerak tubuhnya guna adaptasi usai tak difungsikan dalam waktu yang cukup lama.

Kali ini, Farren bergerak merapikan kain selimut yang sempat turun karena pergerakan tak sadar Kirana dalam pejaman matanya. Pasca pemulihan yang berlangsung dengan progress sangat baik, Dokter Kalva tetap mengatakan suhu yang ekstrem tidak berdampak bagus untuk Kirana.

Farren cukup bersyukur. Sudah dua hari dari permohanan terbesar di hidupnya dikabulkan, Kirana menjalani pemulihan dengan baik. Meskipun belum terlalu fasih berbicara panjang sebab fungsional tubuhnya masih menyesuaikan diri, tetapi senyum Farren tak pernah luntur melihat lancarnya langkah kaki Kirana berjalan beriringan bersamanya di taman rumah sakit, ataupun ketika ia menyuapi Kirana dan Kirana akan berusaha membuka obrolan tentang cerita-cerita masa remaja putranya yang telah ia lewatkan.

Farren sangat lega dan berterima kasih, kendati di lain sisi, pikirannya terus dibayangi perkataan Deva dan wajah ceria gadis yang ia rindukan belakangan ini.

Saat Farren tetap terus menggenggam tangan Kirana untuk kemudian sesekali ia kecup dan elus, pintu ruangan dibuka seseorang dari luar. Langkah kaki berderap mendekatinya. Tanpa menoleh, Farren mengenali sosok itu.

"Tante Kirana tidur?"

Farren mengangguk singkat. Ia menggeser pandangannya. Terdiam beberapa detik selama dua remaja laki-laki itu berpandangan. Akhirnya, Farren bersuara pelan. "Dia?"

Terlalu sulit melafalkan nama gadis yang Farren takutkan oleh keadaan hatinya yang sedang runyam. Memikirkan langkah yang tepat untuk ia lakukan, tetapi sampai sekarang masih bimbang ia putuskan.

"Dia sama Deva. Tadi gue susul pas keluar kafe, dia udah ketemu Deva. Gue gak tau ke mana, tapi mereka pergi bareng. Deva bawa mobil." Gafa menjelaskan kronologi singkat yang ia alami sebelum pergi menuju rumah sakit. Tahu betul bahwa Farren memiliki rasa penasaran pada seorang gadis yang tanpa disebut namanya, Gafa telah tahu dengan pasti identitas gadis tersebut.

Mendengarnya, Farren menunduk sekilas. Pejaman matanya bersamaan senyum kecil tersungging di bibirnya.

"Ren, lo gak papa?" Gafa bertanya dengan menekan sedikit rasa cemasnya. Melihat wajah kacau Farren sejak pertama kedatangannya di kamar inap ini adalah hal yang menakutkan.

Farren sering kacau karena masalah hidup yang menimpanya, tetapi baru kali Gafa melihatnya dalam tingkat paling parah. Yang dipikirannya hanya karena satu nama.

Baru Gafa membuka bibirnya untuk bicara lagi, gerakan kursi berderit ke belakang saat Farren beranjak berdiri menjedanya.

Gafa mengamati Farren yang mengambil jaket di punggung kursi dan kunci motornya. "Lo serius mau ngelakuin ini?"

Pertanyaan Gafa berhasil membuat Farren menatapnya kembali. Tatapan cowok itu datar. Tanpa ekspresi bermakna.

"Lo jaga Bunda gue bentar, ya, Gaf."

"Farren, lo gak usah peduli banget sama kata-kata Deva." Gafa mencegah lengan Farren yang bersikeras melakukan rencananya. Jika melihat keadaan sekarang, Gafa merasa sulit menerima fakta Farren benar-benar menuruti permintaan Deva yang menurutnya terbilang tidak masuk akal. "Ingat, Bunda lo sadar itu bukan karena dia. Dia gak ada hak untuk ngatur lo!"

FearsomeWhere stories live. Discover now