Rangkai XLV [Serakah Memilih]

73 9 7
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

"Mungkin lebih baik Bunda gak ketemu dulu sama papa dan mama. Gimana pun ingatan Bunda tentang kalian terakhir kali jauh dari kata baik. Papa dan mama pulang aja."

Sepenggal kalimat terkandung usiran halus bagi mereka kala berencana masuk ke ruangan tempat Kirana dirawat. Langkah mereka terhenti, urung dalam kecamuk pikiran meresahkan batin. Dari gurat wajah dingin Farren terlihat sama sekali tidak mempersilakan mereka masuk sebab pemuda tanggung itu sudah berdiri di depan pintu. Menghalau tujuan Wiguna dan Tiara seusai ketiganya saksikan Dokter Kalva beserta timnya pergi kala bahasan singkat mengenai program penyembuhan yang harus dilakukan segera terbincangkan dengan situasi serius.

Ada banyak suara ingin bertahan di sana, atau setidaknya ikut masuk bersama sang putra demi melihat wajah wanita yang pernah berarti dalam hidupnya pertama kali dalam kelopak mata terbuka.

Namun, suara bertahan itu tersangkut di tenggorokan. Hilang oleh tajamnya aura permusuhan dari sang anak kandung. Wiguna melirik lengannya dicengkeram Tiara kian menguat.

Akhirnya, anggukan samar Wiguna hendak lekas mengusaikan situasi paling tak mengenakkan di antara mereka bertiga. Tanpa kata, dibawanya Tiara dari sana. Dengan rangkulan penuh afeksi menguatkan, mereka berbalik. Di posisinya, Farren hanya berikan gurat tanpa ekspresi. Memantau punggung kedua orang tuanya perlahan mengecil lalu berakhir hilang di tikungan koridor.

"Mas..."

Tiara mengeluarkan katanya. Panggilan pembuka senyap di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Waktu nyaris beranjak dini hari dan mereka terjebak oleh suasana tak biasa. Dinginnya AC mobil dibaur penampakan jalan malam hari kian menyuramkan wajah mereka.

"Bagaimana ini? Setelah ini, kita bagaimana?—" Isak Tiara mencelos. Hatinya bergemuruh. Pikirannya kacau. Terlalu buntu menghadapi situasi yang tak pernah disangkanya akan terjadi secepat ini. "—Mbak Kirana sudah sadar, Mas."

Wiguna bungkam. Rangkulannya di pundak berguncang Tiara menegang. Mereka tetap berjalan menyusuri lorong panjang rumah sakit dalam kecamuk pikiran masing-masing.

"Aku takut, Mas." Tiara melafalkan aksaranya. "Aku merasa bahagia dengan keluarga kita. Aku pikir semua ini sudah berjalan baik, tanpa ada kesalahan lagi. Tapi, kenapa aku takut tentang apa yang akan terjadi besok-besok, Mas?"

Wiguna makin dibuat frustrasi oleh lirihan Tiara terdengar menyayat hatinya. Menekannya dalam posisi tak menguntungkan diri dalam cara apapun. Sejujurnya, akal dan batinnya juga sedang kalut. Sangat. Ia tak sempurna siap menghadapi fakta yang selama ini enggan ia pikirkan.

"Tiara—" Wiguna tercekat. Suara beratnya mengalun nada kepahitan di telinga Tiara. "Kita hadapi bersama. Ada aku. Kita selesaikan semuanya dengan Kirana."

Dalam hati, Wiguna sebenarnya tercekik oleh peluang yang berani dimilikinya. Ia bahkan tak yakin, masih ada jalan keluar secara baik-baik untuk dosa besar yang dilakukannya pada Kirana. Terlalu kecut nyalinya berhadapan dengan Kirana langsung. Setelah sekian lama, kesalahannya justru terasa kian memberatkan napas damainya.

FearsomeWhere stories live. Discover now