Rangkai XLVIII [Harus Impas]

76 8 4
                                    

Terlampau jelas jika mengelak bahwa aku tidak bisa menyingkirkan segala tentang dirimu dari kepalaku. Kita bertemu secepat itu untuk kau akhiri jalinan rasa di antara kita.

****

Melepaskan adalah keputusan terbaik yang ia miliki saat ini.

Bundanya dikembalikan dalam keadaan pulih dan berangsur sehat. Kendati begitu terjadi pahitnya kemudian ia rasakan kehilangan seseorang yang belakangan penuh menjejali isi pikiran dan hatinya. Setidaknya setimpal. Dari pandangan Deva, Farren harus merasa kehilangan sekali sebagaimana kehilangan yang berkali-kali ia rasakan.

Hujan mengguyur bumi malam ini. Langit kelam menggantung bersamaan udara dingin menghunjam kulit manusia yang terjebak di luar tanpa miliki naungan berteduh. Farren, salah satunya. Cowok itu tetap melajukan motornya. Membelah jalan raya yang tampak berkabut di pandangnya oleh derasnya air hujan. Memilih menerobos hujan. Membiarkan seluruh tubuhnya basah, terkecuali kepalanya yang terlindungi helm. Itu pun tak menampik kemungkinan setelah ini ia akan terserang demam atau pening.

Di kepalanya terisi refleksi wajah sedih dan mata berkaca-kaca gadis yang memintanya bertahan.

Lebih baik seperti ini. Untuk masa-masa sulit yang ia jalani, ada baiknya ia tidak melibatkan gadis itu lebih jauh.

Berpuluh menit ia lalui hingga Farren sampai di rumahnya. Terhitung lima hari sejak ia terakhir kali tidak pulang ke rumah ini. Kesembuhan Kirana adalah fokus utamanya sekarang. Farren berencana mengambil beberapa baju gantinya untuk dibawanya ke rumah sakit. Meski menginjakkan kaki ke rumah itu agaknya berat. Sebab, Farren terlalu malas bertemu Tiara untuk saat ini.

Ruang tamu sepi. Sampai lewati ruang santai pun tidak ada orang. Ia berpikir jika orang rumah sudah terlelap di kamar masing-masing. Maka dari itu, tanpa buang waktu, Farren segera naik ke lantai dua. Bergegas menuju kamarnya.

Derit pintu dibuka kian lebar kala tangannya sibuk memasukkan baju miliknya ke dalam tas ransel di atas tempat tidurnya yang tertata rapi. Agaknya, ia tak perlu menoleh untuk mengetahui sosok yang masuk ke kamarnya karena sebuah suara wanita menyusul berikut derap langkah kaki mendekatinya.

"Farren, kamu udah pulang?—" Lantas, nada cemas menyatu di kalimat selanjutnya. "Astaga, kenapa kamu basah kuyup begini?!"

Tiara berdiri di samping tubuh menjulang sang putra. Menyadari atensi putra tak bertumpu pada entitasnya, Tiara merangkum belah pipi tirus itu lalu dibawanya menghadapnya.

"Kamu bisa sakit sayang kalau hujan-hujanan begini."

Farren terdiam. Mata redupnya tak menatap Tiara, melainkan jatuh ke lantai nan dingin. Bibir pucatnya bergemetar. Air hujan masih menetes dari ujung helai rambut basahnya.

Hatinya tengah bergejolak kacau pasca ia memutuskan sepihak Rellya. Kini menghadapi Tiara seolah momok lain baginya. Bayang-bayang pengkhianatan Tiara dan Wiguna terhadap Bundanya kembali mencuat sejak ia menyadari saat Kirana sadar dan berusaha mengubur kenangan pahit sebelum kecelakaan tragis merenggut kesadarannya dalam berapa waktu yang cukup lama. Terbukti, Kirana tidak pernah mengungkit perbuatan buruk Wiguna di depannya. Paling sakitnya, Farren pernah beberapa kali mendapati Kirana termenung dan berakhir meneteskan air mata tanpa ingin diketahui olehnya.

"Mama ambil handuk dulu, ya?—" Tiara hendak berlalu menuju lemari penyimpan handuk bersih, tetapi gagal sebab Farren menahan lengannya.

"Gak perlu. Farren buru-buru."

Tiara berbalik. Pandangnya tertuju pada Farren, lalu bergeser pada baju-baju dalam tas ransel terbuka Farren, kemudian kembali menatap sendu Farren.

FearsomeWhere stories live. Discover now