Rangkai VII [Kencan Pertama?]

197 35 51
                                    


Manusia bukan lari dari kenyataan. Hanya saja ia sedang mengejar impiannya yang terwujud pada dimensi pikiran yang berbeda.

Penulis.

***

Sesuai perintah Farren, Rellya menunggu kedatangan cowok itu. Duduk di salah satu bangku panjang yang disediakan sekolahnya di sisi gerbang luar sekolah sebagai tempat tunggu jemputan. Memejamkan matanya sembari mendengarkan alunan lagu klasik melalui earphone yang menjadi kesukaannya agar menenangkan pikiran.

Kedua kakinya terayun ke dua awah yang berlawanan, larut dalam suasana musik. Ia telah menunggu lebih dari satu jam setelah berpisah pada Dasya yang telah pulang dijemput supirnya tepat jam setengah tiga mengingat jadwal pulang sekolahnya adalah jam 14.30.

Ia tidak tahu mengapa ia dengan relanya menuruti perintah Farren sehingga mau menunda kepulangannya selama satu jam lebih. Yang dipikirannya sekarang sederhana. Mengikuti alur permainan Farren. Lagipula pertemuannya dengan Farren dalam kesan yang tidak bagus membuat ia penasaran mengapa cowok itu bisa dikurung di ruangan pengap Toko Musik Yudistira. Apakah anak cowok sekolahnya sejahat itu sampai menjadi dalang penyiksaan Farren hingga sekarat dan nyaris mati?

Mungkin Rellya akan bertanya. Tapi tidak buru-buru, mengingat sikap cowok itu tidak begitu bersahabat dan omongan pedas miliknya mampu meretak hati kecilnya yang sentimentil.

Musik klasik bervolume rendah terusik kala rungunya kala suara deru motor mendengung di telinganya. Pejaman matanya terbuka, dilihatnya seorang cowok setia duduk di jok motornya yang berhenti dihadapan Rellya.

Cowok itu mematikan mesin motornya, tidak repot ketika hanya menaikkan kaca pelindung kepalanya, menampakkan iris kembar kelabu yang yang tak bebas dilihat.

"Hai...," Sapa Rellya, merahasiakan gugup. Iris kembar kelabu menatapnya. Ia beranjak berdiri, renungan kesalahan tentang insiden kemarin membayang di otaknya. "Buat kemarin itu--"

"Naik." Sela Farren, seolah tahu hal yang akan diutarakan Rellya dan sebelum niat gadis itu rampung, Farren telah menyela sambil menggerakkan dagunya sekilas ke jok belakang yang kosong.

Rellya melipat bibirnya ke dalam, menahan malu. Lantas tak ingin makin memundur waktu, ia bergegas menaiki motor Farren. Pertama kali menaiki motor semewah itu membuat Rellya takut. Posisi jok belakang sangat tinggi, alhasil Rellya hanya mendaratkan satu tumitnya di penyangga kaki motor itu.

Farren melirik ke belakang, mendapati Rellya yang terbengong. "Ck, pegang pundak gue," ujar Farren yang suaranya agak teredam oleh helm yang dikenakannya.

"Eh?" Rellya membeo. Diberanikannya tangannya hinggap di pundak Farren, lalu sejemang gaya tolak yang kakinya berikan berhasil mendudukkan dirinya di atas jok motor Farren.

"Nih, pake." Farren menyerahkan helm lain pada Rellya yang sigap langsung memakainya. Ia menarik kesimpulan jika Farren adalah orang yang tidak suka membuang waktu.

Begitu merasakan Rellya telah nyaman di belakangnya, Farren melajukan motornya. Tidak seperti perjalananya dari Madava yang menempuh jarak cukup jauh ke Ganantra mengharuskan Farren mengebut di jalan raya demi mengejar waktu, kali ini ia tidak terburu-buru dengan kecepatan sedangnya. Membawa Rellya membelah jalanan pinggiran kota yang masih ramai.

Sepanjang perjalanan keduanya terdiam. Farren yang sibuk mengendarai motor sementara Rellya menggigit bibirnya keras agar menekan gugup yang kian menguasai dirinya. Mengalihkan pandangannya pada sisi jalan yang tampak kesat terlewati.

FearsomeWhere stories live. Discover now