Rangkai III [Intuisi Buruk]

388 52 123
                                    

Tidak masalah saya terjatuh. Saya bisa bangkit sendiri. Mungkin tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

-Anonim-

***

"Lo bisa berhenti melotot ke gue? Gue gak nahan congkel tuh mata dari tadi!" Rellya memutarkan bola matanya, bosan. Mendapati sikap seorang cowok yang berseragam sekolah elite memandangnya penuh curiga dan kesan intimidasi sejak jumpa pertama mereka beberapa jam lalu.

Gafa mengangkat bahunya acuh, "Gimana gue gak curiga sama lo? Lo anak Ganantra, sekolah buangan itu." Tandasnya sinis, melipatkan kedua tangan didepan dada. Ia duduk di kursi tunggu sedangkan Rellya yang masih memiliki rasa segan memilih tetap berdiri di samping pintu UGD yang ditutup rapat.

Rellya mendengus, kesal lantaran sekolahnya dihina dengan orang asing. Namun kekesalannya itu harus dipendamnya mengingat dirinya sudah sangat lelah. Cowok itu bahkan tidak menawarinya duduk, padahal kakinya telah pegal, mati rasa.

Beberapa saat keduanya saling diam, pintu cokelat itu akhirnya dibuka. Seorang lelaki paruh baya berjas putih keluar.

Rellya hanya memerhatikan betapa kentara raut cemas cowok yang tak dikenalinya itu berdiri, menghampiri dokter tergesa. "Gimana, Dok? Keadaan teman saya?"

"Teman kamu kehabisan darah, pasien juga mengalami kurang cairan, dehidrasi mungkin tidak meminum air putih selama dua hari lebih. Ada banyak luka yang mengering, juga masih baru di bagian perutnya. Seperti dipukul pakai sesuatu yang keras." Tutur Dokter, memindai matanya pada catatan ditangannya lalu bergantian pada anak muda dihadapannya.

Wajah Gafa seketika mengeras, kedua tangannya terkepal disisi tubuh. "Bangsat, bajingan! Deva sialan!" desisnya menggeram. Rellya terperangah menyadari kemarahan yang menguar di wajah yang telah memerah, menahan emosi.

Nama yang diucapkan oleh cowok itu merasa tidak asing ditelinga Rellya yang semakin penasaran mengapa cowok itu bisa semarah ini.

"Pasien harus dirawat intensif selama beberapa hari ke depan. Kami akan melakukan CT-Scan lebih lanjut. Saat ini, pasien masih belum sadar akibat obat tidur yang kami berikan." Lelaki berumur senja itu tersenyum sambil mengangguk sopan. "Kalau begitu, saya permisi."

Ketika Dokter berlalu meninggalkan mereka, barulah mata Gafa menatap nyalang ke arahnya. Langkah kakinya lebar menuju perempuan yang perlahan mulai membelalakkan mata penuh awas ke arahnya.

"Lo-mau ngapain?"cicit Rellya pelan. Tubuh lemasnya tersentak otomatis kala kedua tangan menarik kerah seragamnya, lalu membenturkan punggungnya ke dinding keras. "Aw!"

"Jawab gue jujur, lo kacungnya Deva si anjing biadab itu, kan?!! Lo tadi mau bahayain Farren sampai dia hilang kesadaran saat gue nemuin Farren ada sama lo?!!" Bentak Gafa emosi, teriakan kencang menyebabkan urat lehernya terlihat mengerikan dimata Rellya.

Rellya mengerjap, menahan kakinya agar dapat menopang tubuhnya yang sudah menciut dibentak orang yang baru ditemuinya. Lidahnya kelu, suaranya tercekat ditenggorokan saat cengkeraman di kerah seragamnya menguat, seolah berencana mencekik lehernya sampai kehabisan napas.

"Jawab, bangsat?!!" gertaknya lagi, refleks memejamkan mata Rellya yang sudah melesakkan air mata ketakutan.

Susah payah, bibirnya bergerak, mengeluarkan suara mencicit. "Gue-gue gak tahu apa-apa." Rellya mengaku disertai tatapan mata skeptis Gafa mendengar pernyataannya. "Sumpah, gue gak tau apa-apa..," lanjutnya bersamaan suara parau akibat berusaha menahan isak tangis.

Hati kecil Gafa membelokkan niat jahat pikirannya yang ingin mematahkan leher perempuan itu. Bagaimanapun ia adalah seorang lelaki yang tak tega melihat perempuan menangis didepannya.

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang