Rangkai XXVIII [Tetap Tinggal]

113 15 8
                                    

Barangkali kisah ini berujung ironi. Sebab pertemuan kita adalah anomali yang tidak direncanakan oleh takdir.

*****

Deva begitu membencinya. Yang Farren tahu, segala hal akan dilakukan pria itu asalkan ia bisa mendengar berita dirinya yang sekarat atau bahkan terenggut nyawa akibat perintahnya pada teman-teman bayarannya untuk mencelakakan Farren.

Farren berpikir, kebencian dan dendam yang tertanam di hati Deva akan lekas pudar seiring berjalannya waktu dan bertambah dewasanya umur mereka. Memutuskan melupakan kejadian silam yang sebenarnya pahit untuk kedua belah pihak. Lelaki itu beranggapan jika dirinya yang kehilangan sosok tersayang, padahal ia juga merasakan hal serupa. Dalam masalah ini, Farren juga sulit untuk bangkit dari keterpurukan pasca dokter mendiagnosis Bundanya sempat kehilangan denyut jantung selama beberapa jam sebelum dinyatakan koma dan tidak bisa dipastikan waktu sadarnya.

Namun, ia dan Deva berbeda. Meski sempat terpuruk, Farren tidak pernah menyalahi fakta yang sudah terjadi. Ia terbuka pada masa depannya. Sedangkan Deva memilih menjebak dirinya sendiri pada masa lalu yang kelam.

"Duduk. Papa mau bicara." Suara bariton Wiguna memecah sunyi di ruangan kerjanya. Setelah belasan menit menyadari kehadiran Farren yang masih berseragam sekolah dan berdiri di seberang meja kerjanya.

Wiguna meninggalkan dokumen kerja yang dibacanya, melepas kacamata. Kala Wiguna duduk di sofa panjang di tengah ruangan, justru Farren mengambil posisi di sofa tunggal yang lain.

"Sudah menyadari kesalahan kamu?" tanya Wiguna menyisihkan topik ringan yang mencairkan suasana.

Farren mendongak, terdiam sesaat. "Farren gak salah," jawabnya tanpa keraguan.

"Papa tidak mendidik kamu untuk tidak merasa menyesal setelah melakukan kesalahan, Farren."

Peringatan Wiguna membuat Farren mengumpat dalam hati. Jika Wiguna kembali menyudutkan dirinya atas hal yang tidak menjadi tanggung jawabnya, lebih baik ia tidak mengindahkan permintaan Wiguna untuk pulang ke rumah.

"Kamu membangkang dan berbicara kasar pada papa," Wiguna mengingatkannya tentang alasan ia tidak pulang ke rumah selama tiga hari. "Papa bisa saja membuat alat-alat medis di tubuh pasien yang sangat kamu sayangi itu dilepas karena papa menarik semua uang papa dari rumah sakit,"

Farren mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, "Pa!"

Sungguh, tangannya ingin menghancurkan barang-barang saat ini. Kalimat Wiguna sangat menohok ulu hatinya dalam ketidakberdayaan. Wiguna tahu titik lemahnya, maka setiap laki-laki itu membanggakan jasa-jasa besarnya, berkali-kali juga Farren merasa dijatuhkan dan tidak dianggap sebagai anak oleh ayahnya sendiri.

"Kepemilikan usaha Bar papa alihkan pada Deva. Mulai besok, tidak usah kamu mengurus bar itu lagi," kata Wiguna tidak terpengaruh oleh emosi putranya.

Iris kelabu milik Farren memendar gelap yang mengerikan. "Papa gak ada hak buat itu. Om Danu memberikan bar itu sejak awal sama Farren,"

"Benar," Wiguna mengangguk sekali. "Tapi umur kamu masih di bawah umur dan menjadi tanggung jawab papa seluruhnya. Jadi, papa punya hak untuk melakukan apapun pada bar itu tanpa persetujuan kamu."

Farren merapatkan bibir guna menahan bubungan amarah yang ia hindari untuk meledak dihadapan Wiguna. Giginya bergemeltuk geram akibat rahang yang mengeras.

FearsomeWhere stories live. Discover now