Rangkai XLI [Pergi Semesta]

99 15 5
                                    

Di saat alasan bertahan telah hilang, saat itu juga tiada tempat lagi untuk pulang. Terlalu lelah berjuang. Berakhir hidup terjebak kenang.

****

Tidak ada kata terlambat bagi manusia untuk memulai. Setiap hari saat membuka mata selepas tidur, Tuhan memberikan kesempatan manusia melakukan segala hal lebih baik dari hari kemarin. Kendati telah banyak melakukan kesalahan, mkhluk fana berhak dimaafkan, diberi kesempatan. Berusaha tidak harus dimulai dari jauh-jauh hari. Termasuk yang diperbuat Deva sejauh ini.

"Oi, Dev!" Seorang laki-laki berpenampilan berantakan, baju seragam dikeluarkan, dasi tidak terpasang benar, kedua kaki beralas sandal jepit, bukannya sepatu hitam sesuai peraturan yang diterapkan di SMA Ganantra, menghampiri teman kelasnya yang sedang duduk di kursi pojok ruangan kelas dalam raut wajah serius. Tidak biasanya. "Tumben, serius?"

Deva memindai temannya yang kemudian duduk di kursi cokelat sampingnya. Membiarkan temannya bernama Orlando menilik sekilas tampilan dari layar ponselnya yang menyala.

"Lo?! Unggah portofolio seni buat jalur undangan?" Orlando berucap total skeptis, mimiknya mendramatisir kagetnya. Tak menyangka sekali pun Deva yang dikenal paling acuh tak acuh setiap mengikuti pembelajaran di kelas mencoba sesuatu yang seserius ini. "Lo ikut jalur undangan?" tanyanya, masih berupaya menyangka dugaannya.

"Nama gue masuk daftar eligible di sekolah, kalau lo ga tau."

Orlando mengangguk cepat tiga kali sembari suara ocehannya menyusul. "Iya, gue tau! Maksud gue, lo ngambil? Gue kira lo gak peduli kayak ginian, Dev." Menunjuk layar ponsel Deva yang melihatkan laman situs seleksi nasional perguruan tinggi negeri itu. "Tuh! Sampe unggah portofolio. Itu ribet loh, tapi lo lakuin,"

Oleh lidah yang membasahi bibirnya, Deva sejujurnya juga merasa gamang setelah jarinya sekian detik lalu menekan kotak berwarna hijau bertuliskan 'unggah'.

"Gue juga ragu." Deva mengaku dengan suara pelan. Semua prosedur telah dilakukannya. Tinggal menunggu hasil pada tanggal pengumuman nanti. Apapun hasilnya, tetap saja Deva tak mau berekspektasi tinggi.

Orlando menepuk bahu Deva yang seketika menatapnya, datar. Keadaan kelas sedang ricuh. Sebagian banyak teman kelas mereka sedang berkumpul membentuk kerumunan di meja guru, lengkap memasang speaker yang meminjam dari anak kelas sebelah untuk membuat konser kecil khas anak SMA. Menyanyikan lagu perpisahan dari Endank bak paduan suara. Memang, guru yang mengajar sengaja tidak hadir dengan alasan ingin membiarkan anak muridnya yang sudah di tingkat akhir agar belajar mandiri. Namun, alasan itu hanyalah belaka, sebab fakta yang terjadi saat ini sangat melenceng jauh.

Hanya Deva yang tidak berniat melibatkan diri dalam kegiatan yang menurutnya tidak penting itu. Mungkin, dulu Deva akan ikut bersantai bersama teman-temannya. Namun, semakin mendekati akhir masa pelajarnya, Deva kian serius menanggapi hal ini semua.

Orlando yang sejatinya adalah teman dekatnya selama tiga tahun ini menyadari perubahan sikap karibnya. Bukannya marah karena Deva sekarang terlihat jarang berkumpul bersama mereka, ia justru merasa senang. Teman yang mulai berubah lebih baik adalah sesuatu yang patut disyukuri bagi Orlando. Maka, mendekati dan menanyai Deva adalah aksinya saat ini.

Orlando tersenyum sarat makna. "Gue bersyukur dengan diri lo sampai hari ini, Dev. Teman gue mulai peduli sama masa depannya. Gue senang."

Deva terpegun lama. Aksara yang dilontarkan Orlando terdengar tulus dan terasa melegakan hatinya. Deva merasa didukung dan dihargai, selain dari Rellya.

"Thanks, Lan."

Orlando memainkan alisnya. Mimik mukanya jenaka. Sontak mencairkan suasana. "Lo ambil seni?"

FearsomeWhere stories live. Discover now