Rangkai LXII : [Kebaikan Untuknya]

106 9 0
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****


Menyemprot bunga hyacinth menjadi rutinitas baru Kirana.

Bunga itu terhias di pot kecil. Kala fajar menjemput cahayanya membias selinap celah jendela, keindahan pesona tiap kelopak bunga simbol doat ulus itu sulit tertampik dari pandangnya. Masih teringat sikap malu-malu Deva memberikannya beberapa hari lalu saat mengatakan iseng menjenguknya sebab sudah habis urusannya belajar sehari penuh di sekolah. Pemuda tanggung itu mengaku diterima di kampus seni terbaik. Dan Kirana sangat bersyukur suka cita atas kebaikan yang dilimpahi di kehidupannya.

Senyum terbit di bibirnya. Masih berdiri di dekat jendela, menekuni aktivitas kesukaannya. Merawat tanaman yang menyatukan hubungan anak-ibu meskipun tidak sedarah.

Wanita berpakaian khas pasien rumah sakit itu terlihat membaik hari demi hari. Pemulihannya berjalan tanpa hambatan. Sekiranya ia berhasil menunjukkan itu di depan anak-anak tersayangnya sejauh ini.

Kirana baru saja meletakkan wadah penyemprot tanaman di atas nakas bertepatan derit pintu terdengar di belakangnya. Wanita berparas cantik di usia tak lagi yuwana itu berbalik. Pupil kembarnya agak membeliak. Menyaksikan langkah pria berpenampilan eksekutif masuk ke kamar inap sembari balik menatapnya sayu.

"Kirana—"

"Mau apa lagi, Mas?" Tidak bisa menahan untuk tidak menyela. Satu tangan Kirana perlahan merambati sisian meja, mencengkeramnya pertanda perubahan emosi mendadak tak terkendali.

Sebab ia tahu, semakin lama ia membiarkan Wiguna di dekatnya, Kirana akan jatuh lagi. Terpuruk dalam luka perih seperti dulu. Tenggelam dalam iba yang ditunjukkan Wiguna seolah pria itu adalah manusia paling tersakiti.

"Aku—" Wiguna menunduk. Ia tidak tahu juga tepatnya rencana ke kantor menghadiri rapat penting pagi ini gagal tatkala impulsif hati membawa dirinya menuju rumah sakit lokasi Kirana dirawat. Semalaman ia merenungi banyak hal di ruang kerjanya. Berakhir tidak mendapat waktu tidur barang semenit hingga pagi menyambut sunyi. Tentang dosa besar yang harus ditebusnya sebelum ia dilahap rasa bersalah semakin menyakitkan. "—salah. Aku sangat bersalah."

Kirana dibuat total terperangah. Terbungkam oleh tindakan tak disangka dari Wiguna. Pria berwibawa dan memiliki ego tinggi kini tampak tertunduk ibarat tersangka mengakui dosanya setelah berkali-kali dihakimi.

Mantan suaminya. Emosi Kirana terasa diaduk. Ia tak kuasa berkata lebih dulu. Bulir bening menjejali pelupuk mata. Bertahan agar tidak runtuh sesaat matanya kembali membulat.

Merendahkan tubuh, Wiguna luruh di hadapannya. Pria itu berlutut tak jauh darinya. Sekadar lebih membuatnya terpegun tatkala suara parau Wiguna merambat rungunya.

"Aku menghancurkan keluarga kita, menghancurkanmu dari dalam sejak dulu. Aku bersalah, Kirana. Tolong—" Kedua tangan semula berpangku di atas paha perlahan terjulur naik, menepuk-nepuk pasrah dadanya. Matanya memejam. Sakit itu begitu ngilu dirasakan Wiguna. Mencabik seluruh bagian dalam tubuhnya perlahan. "—kurasa ini karma untukku. Aku merasa tidak mampu melanjutkan hidupku dengan baik, Kirana."

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang